Senin, 25 Oktober 2010

Tidak ada perbedaan alquran nya orang syiah dgn alquran nya orang sunni

Kutipan tulisan berikut adalah untuk memberikan perspektif lain dari “dunia islam lain” tepatnya minoritas muslim syiah, alih-alih sebagai penyeimbang tulisan yang dilatarbelakangi ide dari orientalis yang notabene non muslim:

Sesungguhnya Syi’ah mempercayai bahwa al-Qur’an yang ada sekarang adalah benar dan mereka beramal dengannya. Tetapi tidak dinafikan bahwa terdapat kitab-kitab karangan ulama Syi’ah seperti al-Kulaini dan lain-lain yang telah mencatat tentang kurang atau lebihnya ayat-ayat al-Qur’an yang ada sekarang, tetapi ketahuilah anda bahwa bukanlah semua riwayat itu sahih, ada yang sahih dan ada yang dha’if. Contohnya al-Kulaini telah meriwayatkan di dalam al-Kafi bahwa Rasulullah SAW telah dilahirkan pada 12 Rabi’ul Awwal tetapi ditolak oleh mayoritas ulama Syi’ah karena mereka berpendapat bahwa Nabi SAWW dilahirkan pada 17 Rabi’ul Awwal.

Begitu juga mereka menolak kitab al-Hassan bin al-’Abbas bin al-Harisy yang dicatat oleh al-Kulaini di dalam al-Kafi, malah mereka mencela kitab tersebut. Begitu juga mereka menolak riwayat al-Kulaini bahwa orang yang disembelih itu adalah Nabi Ishaq bukan Nabi Isma’il AS (al-Kafi, IV, hlm. 205). Justeru itu riwayat al-Kulaini umpamanya tentang kurangnya dan penambahan ayat-ayat al-Qur’an adalah riwayat yang lemah (Majallah Turuthuna, Bil. XI, hlm. 104).

Karena ulama Syi’ah sendiri telah menjelaskan kelemahan-kelemahan yang terdapat di dalam al-Kafi, malah mereka menolak sebagian besar riwayat al-Kulaini. Begitu juga dengan kitab al-Istibsar fi al-Din, Tahdhib al-Ahkam karangan al-Tusi dan Man La Yahdhuruhu al-Faqih karangan Ibn Babuwaih, sekalipun 4 buku tersebut digolongkan muktabar di dalam mazhab Syi’ah. Umpamanya al-Kafi yang mempunyai 16,199 hadith telah dibagi kepada 5 bagian (di antaranya) : 1. Sahih, mengandung 5,072 hadis. 2. Hasan, 144 hadis. 3. al-Muwaththaq, 1128 hadith (yaitu hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang yang bukan Syi’ah tetapi mereka dipercayai oleh Syi’ah). 4. al-Qawiyy, 302 hadis. 5. Dhaif, 9,480 hadis. (Lihat Sayyid Ali al-Milani, “al-Riwayat Li Ahadits al-Tahrif ‘di dalam Turuthuna, Bil. 2, Ramadhan 1407 Hijrah, hlm. 257).

Oleh sebab itu riwayat-riwayat tentang penambahan dan kekurangan al-Qur’an telah ditolak oleh ulama Syi’ah Imamiyah mazhab Ja’fari dahulu dan sekarang. Syaikh al-Saduq (w. 381H) menyatakan “i’tiqad kami bahwa al-Qur’an yang telah diturunkan oleh Allah ke Nabi Muhammad SAW dan keluarganya ialah di antara dua kulit (buku) yaitu al-Qur’an yang ada pada orang ramai dan tidak lebih dari itu. Setiap orang yang mengatakan al-Qur’an lebih dari itu adalah suatu kebohongan.” (I’tiqad Syaikh al-Saduq, hlm. 93).

Syaikh al-Mufid (w. 413H) menegaskan bahawa al-Qur’an tidak kurang sekalipun satu kalimat, satu ayat ataupun satu surah (Awa’il al-Maqalat, hlm. 55).

Syarif al-Murtadha (w. 436H) menyatakan al-Qur’an telah dijaga dengan rapi karena ia adalah mukjizat dan sumber ilmu-ilmu syara’; bagaimana ia bisa diubah dan dikurangkan? Selanjutnya beliau meyatakan orang yang mengatakan al-Qur’an itu kurang atau lebih tidak boleh dipegang pendapat mereka (al-Tabrasi, Majma’ al-Bayan, I, hlm. 15).

Syaikh al-Tusi (w. 460H) menegaskan bahwa pendapat mengenai kurang atau lebihnya al-Qur’an adalah tidak layak dengan mazhab kita (al-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an, I, hlm.3).

Begitu juga pendapat al-Allamah Tabataba’i dalam Tafsir al-Mizan, Jilid 7, hlm. 90 dan al-Khu’i dalam Tafsir al-Qur’an al-’Azim, I, hlm. 100, mereka menegaskan bahwa al-Qur’an yang ada sekarang itulah yang betul dan tidak ada penyelewengan.

Demikianlah sebagian dari pendapat-pendapat ulama Syi’ah dahulu dan sekarang yang mengakui kesahihan al-Qur’an yang ada pada hari ini.

Imam Ja’far al-Sadiq AS berkata, “Apabila datang kepada kamu dua hadis yang bertentangan maka hendaklah kamu membentangkan kedua-duanya kepada Kitab Allah dan jika ia tidak bertentangan dengan Kitab Allah, maka ambillah dan jika ia bertentangan dengan Kitab Allah, maka tinggalkanlah ia” (Syaikh, al-Ansari, al-Rasa’il, hlm. 446).

Kata-kata Imam Ja’far al-Sadiq itu menunjukkan al-Qur’an yang wujud sekarang ini adalah al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah ke Nabi SAWW tanpa tambah dan kurang jika tidak, ia tidak menjadi rujukan kepada Muslimin untuk membentangkan hadith-hadith Nabi SAWW yang sampai kepada mereka.

Oleh sebab itu mazhab Syi’ah Ja’fari samalah dengan mazhab Ahlu s-Sunnah dari segi menjaga al-Qur’an dari penyelewengan, tetapi anehnya ialah terdapat banyak riwayat di dalam buku-buku Sahih Ahlu s-Sunnah sendiri yang mencatat bahawa al-Qur’an telah ditambah, dikurang dan ditukarkan, di antaranya seperti berikut :

1. Al-Bukhari di dalam Sahihnya, VI, hlm. 210 menyatakan (Surah al-Lail (92):3 telah ditambah perkataan “Ma Khalaqa” pada ayat yang asalnya ialah “Wa al-Dhakari wa al-Untha” tanpa “Ma Khalaqa”. Hadith ini diriwayatkan oleh Abu al-Darda’, kemudian dicatat pula oleh Muslim, Sahih, I, hlm. 565; al-Turmudhi, Sahih, V, hlm. 191. 2. Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, I, hlm. 394; al-Turmudhi, Sahih, V, hlm. 191 menyatakan (Surah al-Dhariyat (51):58 telah diubah dari teks asalnya “Inni Ana r-Razzaq” kepada “Innallah Huwa r-Razzaq” iaitu teks sekarang. 3. Muslim, Sahih, I, hlm. 726; al-Hakim, al-Mustadrak, II, hlm. 224 meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari, “Kami membaca satu surah seperti Surah al-Bara’ah dari segi panjangnya, tetapi aku telah lupa, hanya aku mengingat sepotong dari ayatnya,” Sekiranya anak Adam (manusia) mempunyai dua wadi dari harta, niscaya dia akan mencari wadi yang ketiga dan perutnya tidak akan dipenuhi melainkan dengan tanah.” 4. Al-Suyuti, al-Itqan, II, hlm. 82, meriwayatkan bahwa ‘Aisyah menyatakan Surah al-Ahzab (33):56 pada masa Nabi SAWW adalah lebih panjang yaitu dibaca “Wa’ala al-Ladhina Yusaluna al-Sufuf al-Uwal” selepas “Innalla ha wa Mala’ikatahu Yusalluna ‘Ala al-Nabi...” Aisyah berkata, “Yaitu sebelum Uthman mengubah mushaf-mushaf.” 5. al-Muslim, Sahih, II, hlm. 726, meriwayatkan bahwa Abu Musa al-Asy’ari membaca selepas Surah al-Saf (61):2, “Fatuktabu syahadatan fi A’naqikum...” tetapi tidak dimasukkan ke dalam al-Qur’an sekarang. 6. Al-Suyuti, al-Itqan, I, hlm. 226 menyatakan bahwa dua surah yang bernama “al-Khal’ “ dan “al-Hafd” telah ditulis dalam mushaf Ubayy bin Ka’b dan mushaf Ibn ‘Abbas, sesungguhnya ‘Ali AS mengajar kedua surah tersebut kepada Abdullah al-Ghafiqi, ‘Umar dan Abu Musa al-Asy’ari juga membacanya. 7. Malik, al-Muwatta’, I, hlm. 138 meriwayatkan dari ‘Umru bin Nafi’ bahwa Hafsah telah meng’imla’ “Wa Salati al-Asr” selepas Surah al-Baqarah (2): 238 dan tidak ada dalam al-Qur’an sekarang. Penambahan itu telah diriwayatkan juga oleh Muslim, Ibn, Hanbal, al-Bukhari, dan lain-lain. 8. Al-Bukhari, Sahih, VIII, hlm. 208 mencatat bahwa ayat al-Raghbah adalah sebagian dari al-Qur’an yaitu “La Targhabu ‘an Aba’ikum” tetapi tidak wujud di dalam al-Qur’an yang ada sekarang. 9. Al-Suyuti, al-Itqan, III, hlm. 82; al-Durr al-Manthur, V, hlm. 180 meriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa dia berkata, “Surah al-Ahzab dibaca pada zaman Rasulullah SAWW sebanyak 200 ayat, tetapi pada masa ‘Uthman menulis mushaf tinggal 173 ayat saja.” 10. Al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, V, hlm. 192 mencatatkan bahwa di sana terdapat ayat yang tertinggal selepas Surah al-Ahzab (33):25 yaitu “Bi ‘Ali bin Abi Talib”. Jadi ayat yang dibaca, “Kafa Llahul Mu’minin al-Qital bi ‘Ali bin Abi Talib.” 11. Ibn Majah, al-Sunan, I, hlm. 625 mencatat riwayat dari ‘Aisyah dia berkata: ayat al-Radha’ah sebanyak 10 kali telah diturunkan oleh Allah dan ditulis dalam mushaf di bawah katilku, tetapi manakala wafat Rasulullah SAWW dan kami sibuk dengan kewafatannya, maka ia hilang. 12. Al-Suyuti, al-Itqan, III, hlm. 41 mencatat riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dari bapanya ‘Umar bin al-Khattab, dia berkata, “Janganlah seorang itu berkata aku telah mengambil keseluruhan al-Qur’an, apakah dia tahu keseluruhan al-Qur’an itu? Sesungguhnya sebagian al-Qur’an telah hilang dan katakan saja aku telah mengambil al-Qur’an mana yang ada.” Ini bererti sebagian al-Qur’an telah hilang.

Demikianlah di antara catatan para ulama Ahlu s-Sunnah mengenai al-Qur’an ada lebih atau kurang di dalam buku-buku Sahih dan muktabar mereka. Bagi orang yang mempercayai bahwa semua yang tercatat di dalam sahih-sahih tersebut adalah betul dan wajib dipercayai, akan menghadapi dilema, karena kepercayaan demikian akan membawa mereka kepada mempercayai bahwa al-Qur’an yang ada sekarang tidak sempurna, ada pengurangan atau kelebihan.

Jika mereka mempercayai al-Qur’an yang ada sekarang adalah sempurna - memang ia sempurna - ini berarti sahih-sahih mereka tidak sempurna dan tidak sahih lagi.

Bagi Syi’ah mereka tidak menghadapi dilema ini kerana mereka berpendapat bahwa tidak semua riwayat di dalam buku-buku mereka seperti al-Kafi, al-Istibsar fi al-Din dan lain-lain adalah sahih, malah terdapat juga riwayat-riwayat yang lemah.

Oleh sebab itu untuk mempercayai bahwa al-Qur’an yang ada sekarang ini sempurna sebagaimana yang dipercayai oleh Syi’ah mazhab Ja’fari, maka Ahlu s-Sunnah terpaksa menolak riwayat-riwayat yang terdapat di dalam sahih-sahih mereka demi mempertahankan kesempurnaan al-Qur’an. Dan mereka juga harus menolak riwayat-riwayat yang bertentangan dengan al-Qur’an dan akal seperti hadith yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, “Sesungguhnya Neraka Jahanam tidak akan penuh sehingga Allah meletakkan kaki Nya, maka Neraka Jahanam berkata: Cukup, cukup.” (Al-Bukhari, Sahih, III, hlm. 127; Muslim, Sahih, II, hlm. 482). Hadith ini bertentangan dengan ayat al-Qur’an Surah al-Sajdah (32):13 ,...."Sesungguhnya Aku akan penuhi Neraka Jahanam dengan jin dan manusia.” Juga bertentangan dengan Surah al-Syura (42):11 yang menafikkan tajsim “Tidak ada suatu yang perkarapun yang menyerupaiNya.”

Lantaran itu tidak heranlah jika al-Suyuti di dalam Tadrib al-Rawi, hlm. 36 menyatakan bahwa al-Bukhari telah mengambil lebih 480 periwayat yang tidak disebut atau diambil oleh Muslim dan ia mengandung para periwayat yang lemah, disebabkan oleh kebohongan dan sebagainya, sementara Muslim mengambil 620 periwayat yang tidak disebut atau diambil oleh al-Bukhari dan terdapat di dalamnya 160 periwayat yang lemah.

Murtadha al- Askari menulis buku berjudul 150 sahabat khayalan, Beirut, 1968., berkata: Hanya nama-nama mereka saja disebutkan oleh al-Bukhari dan Muslim tetapi mereka sebenarnya tidak pernah wujud.

Oleh sebab itu ‘sahih” adalah nama buku yang diberikan oleh orang tertentu, misalnya al-Bukhari menamakannya ‘Sahih” yaitu sahih menurut pandangannya, begitu juga Muslim menamakan bukunya ‘Sahih” yaitu sahih menurut pandangannya.

Justeru itu buku-buku ‘sahih’ tersebut hendaklah dinilai dengan al-Qur’an, karena Sahih yang benar adalah sahih di sisi Allah SWT.

Dan kita bersaksi bahwa al-Qur’an yang ada di hadapan kita ini adalah sahih dan tidak boleh dipertikaikan lagi.

Dengan itu anda tidak lagi menganggap Syi’ah mempunyai al-Qur’an ‘lebih atau kurang’ isi kandungannnya karena mereka sendiri menolaknya. Dan telah dicatat di dalam buku-buku Sahih dan muktabar Ahlu s-Sunnah tetapi mereka juga menolaknya.

Dengan demikian Syi’ah dan Sunnah adalah bersaudara di dalam Islam dan mereka wajib mempertahankan al-Qur’an dan beramal dengan hukumnya tanpa menjadikan ‘ijtihad’ sebagai alasan untuk menolak (hukum)nya pula.

Jumat, 25 Desember 2009

Taqlid dalam Ajaran Syiah Imamiah

"Agama Islam - sebagaimana maklum - meliputi masalah-masalah aqidah, fiqih dan akhlak. Di dalam masalah akidah ( ushuluddin ), khususnya menurut ajaran madzhab Ahlul Bait as tidak dibenarkan bertaqlid buta dan mengikuti akidah orang lain tanpa memahami dalil-dalil dan argumen-argumennya. Misalnya dalam masalah menetapkan dan meyakini adanya Tuhan Sang Pencipta alam semesta ini, adanya hari pembalasan, mengenai keesan Tuhan dan lain-lain, dalam hal ini kita tidak boleh ikut-ikutan dan bertaqlid buta kepada orang lain, sekali pun kepada guru atau orang tua kita sendiri, artinya kita harus mencari atau memahami dengan baik dan benar akan dalil-dalil dan argumen-argumen yang berhubungan dengan masalah tersebut. Sehingga ketika kita ditanya orang; Apakah Tuhan itu ada? Kalau Tuhan itu ada, apakah Dia itu esa, satu ataukah ada tiga? Apakah hari kiamat itu pasti terjadi? Dan pertanyaan-pertanyaan akidah lainnya, kita dapat menjawabnya sekali pun dengan argumen-argumen yang sangat sederhana sekali; seperti bahwa Tuhan Pencipta itu ada, dalilnya adalah adanya kita dan alam semesta ini."

Mukaddimah

A gama Islam - sebagaimana maklum - meliputi masalah-masalah aqidah, fiqih dan akhlak. Di dalam masalah akidah ( ushuluddin ), khususnya menurut ajaran madzhab Ahlul Bait as tidak dibenarkan bertaqlid buta dan mengikuti akidah orang lain tanpa memahami dalil-dalil dan argumen-argumennya. Misalnya dalam masalah menetapkan dan meyakini adanya Tuhan Sang Pencipta alam semesta ini, adanya hari pembalasan, mengenai keesan Tuhan dan lain-lain, dalam hal ini kita tidak boleh ikut-ikutan dan bertaqlid buta kepada orang lain, sekali pun kepada guru atau orang tua kita sendiri, artinya kita harus mencari atau memahami dengan baik dan benar akan dalil-dalil dan argumen-argumen yang berhubungan dengan masalah tersebut. Sehingga ketika kita ditanya orang; Apakah Tuhan itu ada? Kalau Tuhan itu ada, apakah Dia itu esa, satu ataukah ada tiga? Apakah hari kiamat itu pasti terjadi? Dan pertanyaan-pertanyaan akidah lainnya, kita dapat menjawabnya sekali pun dengan argumen-argumen yang sangat sederhana sekali; seperti bahwa Tuhan Pencipta itu ada, dalilnya adalah adanya kita dan alam semesta ini.

Berbeda halnya dengan masalah fiqih atau furu'uddin (cabang-cabang agama). Sehubungan dengan masalah ini, khususnya dalam hal-hal yang sifatnya bukan "darûriyyatuddin" seperti kewajiban shalat dll, kaum muslimin secara umum dan apa pun madzhab dan alirannya dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok 'Ulama Mujtahid, kelompok muqallid dan kelompok muhtath.

Sebelum kami menjelaskan masing-masing definisi Mujtahid, Muqallid dan Muhtât, dan demi memperjelas pengertian "darûriyyatuddin", baiklah akan kami jelaskan pembagian "Ahkam Syari'ah".

Hukum-hukum syari'at (ajaran Islam) ditinjau dari sudut pandang upaya mengenal dan mengetahuinya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:

1. Ahkam Daruriah, yaitu hukum-hukum darûriyah yang biasa juga disebut darûriyy atuddîn artinya adalah hukum-hukum yang sudah jelas, gamblang dan ma'ruf serta telah menjadi keyakinan seluruh kaum musliminin. Karena untuk menget ahuinya tidak perlu menguras tenaga dan kemampuan untuk mengkaji, meneliti dan menggunakan kaidah-kaidah ushul, dengan kata lain untuk mengetahui hukum-hukum darûriah itu tidak memerlukan ijtihad, contohnya seperti wajibnya salat, zakat, haji dan lain-lain atau seperti haramnya berzina, membunuh dan lain-lain yang mana seluruh kaum musliminin telah meyakini dan mengetahui dengan jelas tanpa berijtihad atau berlajar lama di Hawzah (pesantren).
2. Hukum-hukum syari'at yang bukan dlaruri, artinya hukum-hukum yang tidak gamblang bagi setiap muslim yang biasa juga disebut "Ahkam Ghairu Daruriyyah" yaitu selain hukum-hukum daruriyyah. Ahkam ghairu darûriyah ini menuntut segenap kemampuan dan kerja keras untuk dapat mengetahuinya, yaitu dengan cara menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih dan ilmu-ilmu alat lainnya (seperti, tata bahasa arab, ilmu hadits, tafsir, dll) agaar dapat menentukan hukum-hukum tersebut, seperti perincian hukum-hukum ibadat dan muamalat pada umumnya. Sudah tentu tidak setiap muslim mampu melakukan pekerjaan berat semacam ini, bahkan tidak juga setiap 'Ulama mampu melakukannya. Pekerjaan seperti ini dinamakan ijtihad yang hanya dapat dilakukan oleh para Mujtahid. Untuk dapat mencapai tingkat ijtihad ini diperlukan keseriusan dalam belajar di tingkat Bahtsul Kharij, yaitu peringkat tinggi dalam pelajaran fiqih dan ushul. Tingkat Bahtsul Kharij ini dapat dimasuki oleh seorang santri/thalabeh setelah melewati peringkat suthuh. Setidaknya Menurut hemat kami, mereka yang duduk dalam tingkat Bahtsul Kharij ini menghabiskan waktu kurang lebih selama lima belas tahun untuk dapat melakukan ijtihad. Sedang peringkat suthuh itu dapat ditempuh secara normal selama delapan tahun, setelah itu barulah ia dapat memasuki pelajaran fiqih dan ushul pada tingkat Bahtsul Kharij.

Seorang Mujtahid Mutlak untuk dapat mencapai tingkat marja'iah (menjadi marja' dan nara sumber hukum bagi masyarakat umum) biasanya ada syarat-syarat khusus yang ia harus ia tempuh, seperti adanya kesaksian dari beberapa orang ulama dan telah menulis Risâlah 'Amaliah. Seorang 'Ulama Syi'ah Imamiyah yang merupakan seorang mujtahid dan telah mencapai tingkat marja' berkata : " Mengingat ijtihad itu memerlukan ilmu yang "canggih", keseriusan dan kerja keras yang istiqomah, oleh karena itu sedikit sekali orang-orang yang mampu mencapai peringkat mulia dan terpuji ini. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan mayoritas kaum muslimin harus merujuk kepada seorang mujtahid sebagai nara sumber dalam masalah-masalah fiqih. Dan inilah yang disebut dengan "taqlid ".

Definisi Mujtahid, Muqallid dan Muhtât

Mujtahid ialah : Orang yang -dengan ilmunya yang tinggi dan lengkap- telah mampu menggali dan menyimpulkan hukum-hukum Islam dari sumber-sumbernya yang asli seperti Al-Qur'an dan Hadits. Mujtahid inilah yang menjadi rujukan (marja') bagi orang-orang awam dan kelompok muqallid.

Muqallid ialah : orang-orang awam yang belum atau tidak sampai kepada derajat ijtihad. Mereka ini diwajibkan ber-taqlid kepada seorang Mujtahid atau Marja' yang telah memenuhi syarat. Pendeknya bahwa muqallid adalah orang yang ber-taqlid atau mengikuti seorang Mujtahid. Sedang arti taqlid itu sendiri adalah beramal ibadah, ber-mu'amalah, bermasyarakat dan bertingkah laku sesuai dengan fatwa-fatwa seorang Mujtahid atau marja'.

Muhtât ialah : Orang yang juga belum mencapai peringkat ijtihad, tetapi lebih tinggi derajatnya dari mukallid karena ia telah mampu mengkaji dan membandingkan antara fatwa-fawa seorang Marja' dengan fawa-fatwa Marja' lainnya, sehingga ia dapat memilih fatwa yang lebih hati-hati dan lebih berat untuk diamalkan. Singkatnya definisi muhtât adalah orang yang berhati-hati dalam segala amal ibadah dan perbuatannya. Kelompok muhtât jumlahnya sangat sedikit sekali, karena ber-ihtiyât adalah termasuk pekerjaan yang berat. Oleh karena itu, kelompok ini pun dibolehkan ber-taqlid kepada seorang marja'.

Kewajiban Bertaqlid Bagi Setiap Muslim

Apabila Anda ditanya orang; Mengapa dalam agama Islam dan khususnya dalam madzhab Syi'ah Imamiah (Ahlul Bait As) setiap muslim dilarang bertaqlid -dalam masalah ushuluddin- kepada orang lain sekali pun kepada 'Ulama dan para mujtahid, tetapi dalam masalah-masalah fiqih yang bukan "daruriyyatuddin" -setiap muslim yang awam- diwajibkan bertaqlid kepada salah seorang mujtahid atau marja' ?

Jawabnya adalah : Karena setiap muslim yang berakal sehat pasti mampu untuk mencari atau memahami argumen-argumen ushuluddin/aqidah dengan menggunakan akal pikirannya, sehingga dalam masalah-masalah aqidah tidak perlu dan tidak dibolehkan bertaqlid kepada orang lain, tetapi dalam masalah-masalah fiqih /furu'uddin tidaklah demikian, artinya tidak semua orang -bahkan sedikit sekali- yang mampu menggali hukum dari sumbernya yang asli yaitu Al-Qur'an dan hadits. Hanya para Mujtahidlah yang mampu melakukan pekerjaan (ijtihad) ini. Oleh karena itu, dalam masalah fiqih orang awam (yang belum mencapai peringkat ijtihad) diwajibkan bertaqlid kepada seorang marja'.

Dalam masalah pengetahuan umum saja, kalau kita perhatikan kehidupan dan kemajuan zaman sekarang ini, diperlukan adanya spesialisasi-spesialisasi dalam bidang-bidang tertentu. Misalnya kedokteran, filsafat, ekonomi, politik, tehnik dan lain-lain. Bahkan ilmu kedokteran saja bercabang-cabang lagi, nah apalagi dalam masalah agama dan hukum-hukum dalam Islam, sudah tentu sangat diperlukan adanya para mujtahid dan marja' agar orang-orang awam tidak tersesat dan tidak berani menyimpulkan dan mengeluarkan hukum sendiri. Sebagaimana dalam masalah penyakit dan pengobatannya orang-orang awam diharuskan merujuk kepada dokter spesialisasi, maka begitu pula dalam masalah-masalah fiqih dan ahkam, yaitu orang-orang awam diharuskan merujuk kepada para mujtahid dan marja' yang telah memenuhi syarat. Tentu saja taqlid semacam ini jauh berbeda dengan taqlid kepada orang-orang asing dalam masalah budaya dan adat istiadat, karena bertaqlid kepada mereka dalam masalah ini akan menyebabkan hancurnya akidah, iman dan akhlak Islami seorang muslim. Seorang muslim haruslah senantiasa menjaga akhlak, iman dan adat istiadat atau budayanya yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.

Dalil-Dalil Keharusan Bertaqlid

Paling tidak ada lima argumen yang bisa dijadikan sebagai dasar kebolehan dan keharusan bertaqlid bagi orang-orang awam – dalam masalah-masalah fiqih – kepada seorang mujtahid atau marja'. Lima buah argumen itu ialah :

1. Sirah al-'uqala (Tingkah laku orang-orang yang berakal)

Argumen terpenting sehubungan dengan masalah ini adalah argumen prilaku 'uqala sepanjang sejarah kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari kita saksikan bahwa mayoritas masyarakat umum senantiasa mengikuti, bertaqlid dan merujuk kepada para ahli di bidangnya masing-masing. Misalnya mereka yang bukan ahli dalam bidang elektronik ketika TV mereka rusak, mereka akan merujuk tempat-tempat servis TV dimana tenaga ahli terdapat disitu dan bahkan mereka siap mengikuti dan mengamalkan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh para ahli tersebut.

Janganlah coba-coba apabila Anda bukan ahli dibidangnya untuk memperbaiki TV, membongkar mesin mobil atau pun menservis komputer, karena pasti Anda tidak akan berhasil dan mayarakat umum pun akan mencaci maki Anda. Tetapi, rujuklah para ahli di bidangnya masing-masing. Kalau dalam urusan materi dan dunia saja harus demikian, apalagi dalam hal-hal yang berhubungan erat dengan kehidupan alam akhirat yang kekal dan abadi. Logiskah apabila Anda menanyakan apa hukumnya bekerja di bank, bagaimana cara melakukan ibadah haji dan lain-lain kepada penjual sayuran di pasar ? atau kepada ahli bangunan ?

2. Al-Qur'an,

Artinya: " Hendaklah ada sekelompok dari orang-orang yang beriman yang mendalami masalah-masalah agama untuk memberikan peringatan kepada kaumnya".(Qs. at-Taubah: 122)

Penjelasan :

Ayat tersebut menunjukkan wajibnya melakukan "indzar" (memberikan dan menyampaikan peringatan kepada umat manusia akan adanya siksa Allah Swt ketika mereka tidak mentaati dan melanggar hukum-hukum-Nya). Sudah barang tentu tidak semua orang mampu menentukan, menetapkan dan menjelaskan hukum-hukum Allah Swt tersebut selain para 'ulama dan mujtahid yang telah mengkaji masalah-masalah agama puluhan tahun. Dengan demikian, ayat tersebut tidak secara langsung mewajibkan orang-orang muslim yang awam untuk bertaqlid kepada para 'ulama, maraji' dan mujtahidin yang telah memenuhi syarat. Sehubungan dengan ayat tersebut sebagian 'Ulama Ahli Sunnah berkata: "Maka dengan demikian Allah Swt telah mewjibkan kaum muslimin untuk menerima "indzar" dan peringatan yang disampaikan oleh para 'Ulama, dan hal itu berarti "taqlid" kepada mereka".

3. Al-Qur'an.

Artinya: "Maka hendaklah kalian bertanya kepada "Ahli Dzikir" ( para 'Ulama ) jika memang kalian tidak tahu". (Qs.an-Nahl : 43)

Penjelasan:

Sangat jelas, bahwa ayat tersebut menunjukkan kewajiban bertaqlid bagi orang-orang awam yang belum mencapai peringkat mujtahid. Nampaknya ayat ini lebih jelas tekanannya dibandingkan dengan ayat sebelumnya, karena ayat ini menjelaskan tugas si mukallid, hanya saja yang menjadi masalah adalah siapakah ahli dzikir yang dimaksud oleh ayat tersebut?

Sehubungan dengan pengertian ahli dzikir, ada beberapa jawaban dan pandangan yang perlu diperhatikan baik-baik

1. Ahli ilmu dan ahli Al-Qur'anul al- Karim

2. Ibnu Qayyim al-Jauzi berpendapat " bahwa yang dimaksud dengan ahli dzikir ialah ahli tafsir dan ahli hadits" .

3. Ibn Hazm berkata " ahli dzikir adalah para perawi hadits Nabi dan para 'ulama tentang hukum-hukum al-Qur'an " .

Dari beberapa jawaban dan pandangan tersebut dapat kita simpulkan bahwa seluruh umat Islam yang awam yaitu yang belum mencapai derajat ijtihad, diwajibkan untuk bertanya, mengikuti dan bertaqlid kepada Ahli Dzikir, yaitu para 'Ulama yang betul-betul telah mendalam pengetahuannya tentang al-Qur'an dan hadits-hadits Nabi. Hal ini sesuai dengan penafsiran secara umum dan sesuai pula dengan kondisi sekarang ini, dimana kita hidup pada masa "ghaibah kubra"nya Imam Zaman As. Sedang "ahli dzikir" menurut pandangan yang lebih dalam, lebih luas dan khusus yang ditopang oleh ayat-ayat lainnya dan berbagai riwayat adalah: para Imam Ma'shum yang jumlahnya ada dua belas orang. Ma'af, kami tidak dapat menyinggung masalah yang luas ini dalam risalah yang sederhana ini.
4. Al-Qur'an

Artinya: "Katakanlah pada mereka: 'Taatilah Allah, Rasul-Nya dan Ulil Amri dari kalian'". (Qs.an-Nisa ayat : 59)

Penjelasan:

Sebagian 'Ulama Ahli Sunnah menjadikan ayat ini sebagai dalil atas wajibnya bertaqlid, mereka mengatakan : " Sesungguhnya Allah Swt -dalam ayat ini- telah memerintahkan hamba-Nya agar mentaati-Nya, mentaati Rasul-Nya dan 'Ulil Amri' yaitu para 'Ulama atau para 'Ulama dan Umara. Dan taat kepada mereka berarti mentaqlidi mereka atas segala apa yang mereka fatwakan, karena sesungguhnya jika tidak ada taqlid, tidak akan ada ketaatan yang khusus kepada mereka".

Para 'Ulama Syi'ah Imamiah - berdasarkan riwayat-riwayat yang juga bersumber dari kitab-kitab Ahli Sunnah – mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "Ulil Amri" dalam ayat tersebut adalah : "Para Imam Dua Belas" setelah wafatnya Rasulullâh saw dari mulai Imâm 'Alî bin Abî Tâlib As sampai kepada Imâm Zaman al-Mahdi As. Dengan demikian ayat tersebut berarti : " Hendaknya kalian senantiasa mentaati Allah Swt, Rasul-Nya dan para Imam Ma'sum yang 12 orang". Sedang pada masa ghaibah kubra Imam yang ke 12 sekarang ini, kalian wajib mentaati "Wali Faqih" yaitu Imam Ali Khamene'i Hf dan marja' kalian masing-masing yang telah memenuhi syarat.

5. Riwayat Imam Hasan al-Askari As

Artinya: "Adapun terhadap seorang faqih yang senantiasa menjaga dirinya dari perbuatan dosa, selalu menjaga agamanya, melawan hawa nafsunya dan selalu mentaati perintah-perintah "Maula"nya, maka diwajibkan bagi semua orang awam untuk bertaqlid kepadanya".

Penjelasan

Telah jelas dan masyhur bahwa riwayat ini menunjukkan dan menjelaskan kewajiban bertaqlid bagi semua orang awam -pada masa sekarang ini- kepada seorang marja' dan mujtahid yang sebagian syarat-syaratnya telah disebutkan dalam riwayat tersebut.

Kalau kita perhatikan para pengikut madzhab Ahli Sunnah di seluruh dunia pada masa sekarang ini - di dalam masalah fiqih – sebagian mereka bertaqlid kepada Imam Syafi'i, sebagian lainnya bertaqlid kepada Imam Maliki, Hanafi dan Hanbali. Terlepas mereka itu paham atau pun tidak akan masalah taqlid, mereka sadari atau pun tidak, yang jelas mereka itu -dalam masalah furu'uddin- bertaqlid dan mengamalkan fatwa-fatwa salah seorang dari para mujtahid dan marja' tersebut.

Sedang para pengikut madzhab Syi'ah Imamiah diwajibkan untuk bertaqlid – dalam masalah furu'uddin yang bukan daruriyyatuddîn dan pada masa ghaib kubra sekarang ini – kepada seorang mujtahid dan marja' yang telah memenuhi syarat. Dan mayoritas mujtahidin itu kini berada di Negara Republik Islam Iran, khususnya di kota Qum al-Muqaddasah.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid dan marja' yang bisa ditaqlidi, sebagaimana telah dijelaskan oleh para 'Ulama di dalam kitab-kitab fiqih mereka ialah:.

1. Telah mencapai peringkat mujtahid.

2. Adil.

3. Laki-laki.

4. Beriman ( Syi'i Imami ).

5. Bukan anak hasil zina.

6. Wara'.

7. Lebih alim dari mujtahid lainnya.

8. Dll.

Apabila terdapat beberapa orang yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut, sebagaimana kenyataan sekarang ini, maka si muqallid -untuk dapat memilih dan mentaqlidi salah seorang dari mereka- haruslah dengan bantuan dan perantara "Ahli Khibrah ". Ahli Khibrah ialah: Orang-orang yang telah lama (kira-kira lebih dari 20 tahun) mempelajari dan mengkaji ilmu-ilmu agama sehingga mereka telah mampu menilai, menentukan dan membedakan antara Mujtahid dengan yang bukan/belum Mujtahid dan antara yang a'lam dengan yang tidak.

Menurut Imâm Khomeini Ra, Sayyid al-Qâid Hf, dll. Minimalnya harus melalui perantara dua orang Ahli Khibrah untuk dapat memilih, menentukan dan mentaqlidi seorang mujtahid atau marja'. Dengan demikian si mukallaf atau mukallid yang awam tidak dibenarkan memilih dan menentukan marja'nya dengan penilaiannya sendiri, apalagi jika penilaian dan pemilihannya atas seorang marja' itu didasari oleh sifat rakus dan tamaknya terhadap materi dan dunia, seperti -misalnya- jika marja' yang ia pilih itu lebih dekat dan lebih banyak memberikan bantuan kepadanya daripada marja' lainnya. Nah, dasar penilaian dan pemilihan seperti ini jelas kebatilannya, karena satu-satunya tolok ukur a'lamiah seorang marja' adalah: kelebih pandaiannya dalam beristinbat dan menetapkan suatu hukum dari sumber-sumbernya, dan sama sekali bukan yang lebih pandai dalam masalah-masalah sosial, politik apalagi materinya.

Pembagian Taqlid

Taqlid seseorang kepada orang lain -dalam hal apa pun dan secara rasional- tidak keluar dari empat macam,yaitu:

1. Taqlid seorang alim kepada alim lainnya.
2. Taqlid seorang jahil kepada jahil lainnya.
3. Taqlid seorang alim kepada orang yang jahil.
4. Taqlid seorang yang jahil kepada orang alim.

Bagian pertama, yaitu taqlid seorang yang alim kepada orang alim lainnya, menurut penilaian akal sehat adalah suatu perbuatan yang jelek dan tidak terpuji, karena tidak ada alasan bagi orang yang telah mengetahui ( alim ) tentang suatu masalah bertaqlid kepada orang lain yang juga mengetahui permasalahan yang sama. Oleh karena itu, seorang mujtahid tidak dibenarkan dan tidak dibolehkan bertaqlid kepada mujtahid lainnya.

Bagian kedua, yaitu taqlid seorang jahil, bodoh dan tidak mempunyai ilmu pengetahuan kepada orang jahil yang sama. Sudah tentu akal sehat menilai perbuatan semacam ini sangat buruk dan tidak logis. Bagaimana mungkin orang yang bodoh bertaqlid kepada orang yang bodoh pula. Hal ini tidak ada bedanya dengan orang buta yang berkata kepada kawannya yang juga buta pula: "peganglah tanganku dan tuntunlah aku menuju ke suatu tempat di sana".

Bagian ketiga, yaitu taqlid seorang 'alim kepada orang jahil. Taqlid semacam ini adalah paling buruk dan hinanya perbuatan di mata masyarakat umum dan bahkan menurut penilaian anak kecil sekali pun. Mana mungkin orang yang dapat melihat dengan baik minta bantuan untuk dituntun ke suatu tempat kepada orang yang buta matanya.

Bagian keempat adalah: taqlid seorang jahil kepada orang alim dan pandai (ahli ilmu). Hal ini sangatlah wajar dan logis. Bahkan menurut akal sehat memang begitulah seharusnya, yaitu orang yang awam dan bodoh diharuskan bertaqlid dan mengikuti saran-saran, nasihat-nasihat, fatwa-fatwa dan jejak langkah ahli ilmu. Dalam hal ini, agama pun -terutama madzhab Ahlul Bait As- sangat menekankan dan mewajibkannya. Taqlid semacam ini tidaklah dikategorikan sebagai "taqlid buta" yang memang sangat dicela oleh akal sehat dan Al-Qur'an al-Karim. Contoh taqlid keempat ini tidak ada bedanya dengan seorang awam yang terkena penyakit tertentu berkonsultasi dan berobat kepada seorang dokter spesialisasi di bidangnya.

"Taqlid buta" adalah satu sifat yang sangat buruk, rendah dan tercela, yaitu ketika seseorang mengikuti orang lain tanpa dalil dan argumen yang jelas, kuat dan logis, baik dalam hal ibadat, maupun dalam hal adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik kepada orang tua dan nenek moyang, maupun kepada bangsa lain. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta dan mengikuti lampah dan perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak mempunyai dalil dan argumen sama sekali. Allah Swt berfirman: "Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan yang menyekutukan Allah ): "ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang telah Allah turunkan". Mereka menjawab: "Kami hanya mengikuti segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami". Padahal nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga mendapat hidayah ( dari Allah Swt )" (Qs.Al-Baqarah : 170).

Dengan kata lain, bahwa nenek-nenek moyang mereka itu adalah orang-orang yang bodoh dan tersesat, tetapi walau pun demikian mereka tetap mengikuti dan mentaqlidinya. Mereka menolak bertaqlid kepada orang-orang yang telah mendapat hidayah dari Allah Swt, ma'sum (terjaga) dari segala kesalahan dan dosa dan ahli ilmu pengetahuan, yang sifat-sifatnya telah jelas disebutkan oleh Allah Swt di dalam Al-Qur'an al-Karim, yaitu para Nabi, Rasul, Imam-Imam suci dan para 'ulama yang telah memenuhi syarat-syarat yang telah kami singgung di atas.

Para pembaca yang budiman, mengingat risalah ini sengaja dibuat seringkas mungkin, maka kami kira bukan pada tempatnya untuk menjelaskan masalah taqlid yang lebih luas lagi, terutama yang berhubungan dengan masalah "marja'iah" dan "a'lamiah".

Secara singkat kami katakan, bagi Anda yang baru baligh atau baru masuk/pindah ke madzhab Syi'ah Imamiah pada masa sekarang ini, dimana tidak ada kata sepakat dari para Ahli Khibrah tentang a'lamiah seorang mujtahid atau marja', jika ingin bertaqlid kepada seorang mujtahid atau marja', maka carilah dua orang Ahli Khibrah yang menyaksikan dan menyatakan a'lamiahnya. Di samping itu pula, tentunya Anda dituntut untuk mengenal dan memeperhatikan Ahli Khibrah tersebut, baik dari sisi akhlak, pengetahuan, zuhud, dll. Baik melalui cerita-cerita orang-orang yang mengenalnya, membaca biografi dan karangan-karangannya, atau dengan cara-cara lainnya. Karena Ahli Khibrah itulah yang menyampaikan Anda kepada seorang mujtahid atau Marja' Taqlid. Sedang Marja' Taqlid itu menyampaikan dan menyambung tali hubungan Anda dengan Imam Zaman Ajf. Dan Imam Zaman Ajf adalah sebagai tali penghubung dan "Al-Urwah al-Wustqa" kepada Allah Swt bagi setiap mukallid, bahkan secara umum bagi setiap insan dan jin yang berusaha mencari dan menelusuri jalan menuju al-Haq. Bahkan lebih dari itu, Imam Zaman Ajf yang berperan sebagai "al-Hujjah" di muka bumi pana ini, adalah sebagai tonggak dan poros utama bagi keteraturan alam semesta ini dengan segala aktivitasnya, "Lawlal Hujjah Lasaakhatil ardlu biahlihaa", tanpa adanya "al-Hujjah" (Imam Zaman Ajf sebagai Imam Maksum yang ke 12), akan hancur luluhlah bumi ini dengan segenap penduduk dan isinya. Pembahasan tentang Imam Zaman ajf sebagai 'al-Hujjah", "Wasilah" dan "Al-'Urwah al-Wutsqa" ini, berhubungan erat dengan pembahasan "hukum kausalitas, sebab akibat dan "Sunnatullah" di dalam pelajaran dan kajian filsafat. Hal ini tidak dapat kami bahas dalam risalah sederahana ini. Namun Anda dapat menanyakannya kepada seorang Ustadz yang telah mempelajari dan mengkaji akidah Syi'ah Imamiyah dengan baik dan mendalam.

Jawaban mengenai issue-issue bahaya Syiah.

Persoalan-Persoalan Tentang Isu bahaya Syiah?

Kita suci Al-Qur'an menyatakan yang artinya :
"Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara."(Al-Hujurat 49:10)
Oleh itu umat Islam sewajarnya saling berkenal-kenalan
dan berlapang dada tentang perkara-perkara yang berbeda dalam sesuatu madzhab dalam Islam.

Intisari Persoalan:

1. Syiah Menyelewengkan al-Qur'an?
2. Nikah Muta'ah
3. Syiah Golongan Kafir?
4. Syiah Ajaran Yahudi?
5. Imam Maksum
6. Syiah Mengkafirkan Sahabat Nabi SAWA?
7. Imam Ja'afar al-Sadiq AS bukan Syiah?
8. Al-Bada'
9. Taqiyah
10. Mengapa Syi'ah Sujud di atas Tanah Karbala?
11. Mengapa Syi'ah Enggan Menerima Madzhab Ahlul Sunnah Wal-Jama'ah?
12. Imam Mahdi AS Berumur Panjang?
13. Aqidah Raja'ah
14. Isu-isu al-Qur'an, mushaf, dan wahyu kepada Fatimah AS
15. Mazhab Ahlul Sunnah
16. Mazhab Ahlul Sunnah dan Ahlul Bayt AS
17. Ilmu Para Imam AS
18. Maqam para Imam AS
19. Maqam Imam Ali AS Dan Mushaf Fatimah AS
20. Syiah Menyembunyikan Kitab-kitab Mereka
21. Syiah menyelewengkan al-Qur'an.

Ulama Syiah dari dulu hingga sekarang menolak pendapat tentang berlaku penyelewengan dalam bentuk seperti berlaku perubahan/tahrif, lebih atau kurangnya ayat-ayat Qur an sama ada dari kitab-kitab Syiah atau Ahlul Sunnah.

Mereka berpendapat jika hujah berlakunya perubahan ayat-ayat Qur an diterima maka Hadith sohih Nabi Muhammad SAW yang bermaksud, " Aku tinggalkan kamu dua perkara supaya kamu tidak akan sesat selama-lamanya iaitu al-Qur an dan Sunnah/Ahl Bayt," tidak boleh dipakai lagi kerana al-Qur an yang diwasiatkan oleh Nabi SAW untukkumat Islam sudah berubah dari yang asal sedangkan Syiah sangat memberatkan dua wasiat penting itu dalam ajaran mereka.Lagi pun Hadith-hadith yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Syiah berkaitan dengan tahrif keatas al-Qur an yang berjumlah kira-kira 300 itu adalah Hadith-hadith dhaif.

Begitu juga dalam kitab-kitab Sunnah seperti Sahih Bukhari turut menyebut tentang beberapa Hadith tentang perubahan ayat-ayat Qur an misalnya tentang ayat rejam yang dinyatakan oleh Umar al-Khattab, perbezaan ayat dalam Surah al-Lail dan sebagainya.´

Bukahkah Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur'an (Surah 15:9), yang bermaksud:" Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Zikr (al-Qur'an), dan sesungguhnya Kami memeliharanya." Sekiranya seseorang itu menerima pendapat bahawa al-Qur'an telah diselewengkan oleh sesuatu golongan maka di sisi lain orang ini sebenarnya telah menyangkal kebenaran ayat di atas. Oleh itu semua pendapat tentang kemungkinan berlakunya tahrif dalam ayat-ayat Qur an sama ada dari Syiah atau Sunnah wajib ditolak sama sekali.

Imam Ja'far al-Sadiq AS meriwayatkan sebuah Hadith dari datuknya Rasulullah SAWA [bermaksud]:
"
Setiap Hadith yang kamu
terima dan bersesuaian
dengan Kitab Allah
tidak diragukan datangnya
daripada aku
dan Hadith-hadith yang
kamu terima yang bertentangan
dengan Kitab Allah,
sesungguhnya bukan datang daripadaku."
[Al-Kulaini, al-Kafi, Jilid I, Hadith 205-5]



2. Nikah Muta'ah.

Berhubung dengan isu hangat iaitu Nikah Muta'ah yang dikaitkan dengan zina, pendapat ini menimbulkan kemusykilan yang amat sangat. Ini kerana menyamakan Muta ah Nikah dengan zina membawa maksud seolah-olah Nabi Muhammad SAWA pernah menghalalkan zina dalam keadaan-keadaan darurat seperti perang Khaibar dan pembukaan kota Mekah. Pendapat ini tidak boleh diterima kerana perzinaan memang telah diharamkan sejak awal Islam lagi dan tidak ada rokhsah dalam isu zina.

Sejarah menunjukkan bahawa Abdullah bin Abbas diriwayatkan pernah mengharuskan Nikah Muta'ah tetapi kemudian menarik balik fatwanya iatu di zaman selepas zaman Nabi Muhammad SAWA.
Kalau muta'ah telah diharamkan pada zaman Nabi SAWA adakah mungkin Abdullah bin Abbas mengharuskannya?
Sekiranya beliau tidak tahu [mungkinkah beliau tidak tahu?] tentang hukum haramnya muta'ah adakah beliau berani menghalalkannya pada waktu itu?

Fatwa Abdullah bin Abbas juga menimbulkan tandatanya kerana tidak mungkin beliau berani mengharuskan zina [muta'ah] dalam keadaan darurat seperti makan bangkai, darah dan daging babi kerana zina [muta'ah] tidak ada rokhsah sama sekali walaupun seseorang itu akan mati jika tidak melakukan jimak. Sebaliknya Abdullah menyandarkan pengharaman muta'ah kepada Umar al-Khattab seperti tercatat dalam tafsir al-Qurtubi meriiwayatkan Abdullah bin Abbas berkata, " Sekiranya Umar tidak mengharamkan mutaah nescaya tidak akan ada orang yang berzina kecuali orang yang benar-benar jahat." (Lihat tafsiran surah al-Nisa:24)

Begitu juga pengakuan sahabat Nabi SAW iaitu Jabir bin Abdullah dalam riwayat Sohih Muslim, " Kami para sahabat di zaman Nabi SAW dan di zaman Abu Bakar melakukan muta ah dengan segenggam korma dan tepung sebagai maharnya, kemudian Umar mengharamkannya kerana kes Amr bin khuraits."
Jelaslah muta ah telah diamalkan oleh para sahabat Nabi Muhammad SAW selepas zaman Rasulullah SAW wafat. Oleh itu hadith-hadith yang meriwayatkan bahawa Rasulullah SAW telah mengharamkan muta ah nikah sebelum baginda wafat adalah hadith-hadith daif.

Dua riwayat yang dianggap kuat oleh ulama Ahlul Sunnah iaitu riwayat yang mengatakan nikah muta ah telah dihapuskanpada saat Perang Khaibar dan pembukaan kota Mekah sebenarnya hadith-hadith yang daif. Riwayat yang mengaitkan pengharaman muta ah nikah pada ketika Perang Khaibar lemah kerana seperti menurut Ibn al-Qayyim ketika itu di Khaibar tidak terdapat wanita-wanita muslimah yang dapat dikahwini. Wanita-wanita Yahudi (Ahlul Kitab) ketika itu belum ada izin untuk dikahwini. Izin untuk mengahwini Ahlul Kitab seperti tersebut dalam Surah al-Maidah terjadi selepas Perang Khaibar. Tambahan pula kaum muslimin tidak berminat untuk mengahwini wanita Yahudi ketika itu kerana mereka adalah musuh mereka.

Riwayat kedua pula diriwayatkan oleh Sabirah yang menjelaskan bahawa nikah muta ah diharamkan saat dibukanya kota Mekah (Sahih Muslim bab Nikah Muta'ah) hanya diriwayatkan oleh Sabirah dan keluarganya sahaja tetapi kenapa para sahabat yang lain tidak meriwayatkannya seperti Jabir bin Abdullah, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud?
Sekiranya kita menerima pengharaman nikah muta'ah di Khaibar, ini bermakna muta'ah telah diharamkan di Khaibar dan kemudian diharuskan pada peristiwa pembukaan Mekah dan kemudian diharamkan sekali lagi. Ada pendapat mengatakan nikah muta'ah telah diharuskan 7 kali dan diharamkan 7 kali sehingga timbul pula golongan yang berpendapat muta'ah nikah telah di haramkan secara bertahap seperti mana pengharaman arak dalam al-Qur'an tetapi mereka lupa bahawa tidak ada ayat Qur'an yang menyebutkan pengharaman muta'ah secara bertahap seperti itu. Ini hanyalah dugaan semata-mata. Yang jelas nikah muta'ah diharuskan dalam al-Qur an surah al-Nisa:24 dan ayat ini tidak pernah dimansuhkan sama sekali. Al-Bukhari meriwayatkan dari Imran bin Hushain:

"Setelah turunnya ayat muta'ah,
tidak ada ayat lain yang menghapuskan ayat itu.
Kemudian Rasulullah SAW pernah memerintahkan kita
untuk melakukan perkara itu
dan kita melakukannya semasa beliau masih hidup.
Dan pada saat beliau meninggal,
kita tidak pernah mendengar
adanya larangan dari beliau SAW tetapi kemudian ada
seseorang yang berpendapat
menurut kehendaknya sendiri."

Orang yang dimaksudkan ialah Umar. Walau bagaimanapun Bukhari telah memasukkan hadith ini dalam bab haji tamattu.

Pendapat Imam Ali AS adalah jelas tentang harusnya nikah muta'ah dan pengharaman muta'ah dinisbahkan kepada Umar seperti yang diriwayatkan dalam tafsir al-Tabari:
"Kalau bukan kerana Umar melarang nikah muta'ah
maka tidak akan ada orang

yang berzina kecuali orang
yang benar-benar celaka."
Sanadnya sahih. Justeru itu Abdullah bin Abbas telah memasukkan tafsiran (Ila Ajalin Mussama) selepas ayat 24 Surahal-Nisa bagi menjelaskan maksud ayat tersebut adalah ayat muta'ah (lihat juga Syed Sobiq bab nikah muta'ah).
Pengakuan Umar yang menisbahkan pengharaman muta'ah kepada dirinya sendiri bukan kepada Nabi SAWA cukup jelas bahawa nikah muta'ah halal pada zaman Nabi SAWA seperti yang tercatat dalam Sunan Baihaqi,
" Dua jenis muta'ah yang dihalalkan di zaman Nabi SAWA aku haramkan
sekarang dan aku akan dera siapa yang melakukan kedua
jenis muta'ah tersebut. Pertama nikah muta'ah dan kedua haji tamattu".

Perlulah diingatkan bahawa keharusan nikah muta ah yang diamalkan oleh Mazhab Syi ah bukan bermaksud semua orang wajib melakukan nikah muta ah seperti juga keharusan kahwin empat bukan bermaksud semua orang wajib kahwin empat. Penyelewengan yang berlaku pada amalan nikah muta'ah dan kahwin empat bukan disebabkan hukum Allah SWT itu lemah tetapi disebabkan oleh kejahilan seseorang itu dan tidak dinafikan kelemahan akhlaknya sebagai seorang Islam. Persoalannya jika nikah muta'ah sama dengan zina, apakah bentuk muta'ah yang diamalkan oleh para sahabat pada zaman Nabi Muhammad SAW dan zaman khalifah Abu Bakar?[catatan: Nikah muta'ah memang tidak sama dengan zina]


3. Syiah Kafir?

Dakwaan Syiah golongan kafir menimbulkan kemusykilan kerana pada setiap tahun orang-orang Syiah mengerjakan ibadat haji misalnya pada tahun 1996, seramai 70,000 jemaah haji Iran mengerjakan haji.

Oleh itu bagaimanakah boleh terjadi orang kafir (Syiah?) dibenarkan memasuki Masjidil Haram sedangkan al-Qur an mengharamkan orang kafir memasuki Masjidil Haram?


4. Syi'ah Yahudi?

Dakwaan Syiah adalah hasil daripada ajaran Yahudi dan Nasrani juga tidak dapat diterima oleh akal yang sihat. Sebagai contoh, pada masa ini pejuang Hizbollah (Syiah) berperang dengan Yahudi di Lebanon. Ramai yang gugur syahid. Semua orang tahun Israel memang takut dengan pejuang Hizbollah sebab itu mereka sengaja mengebom markas PBB pada tahun 1996 untuk menarik negara-negara barat mencari jalan menghentikan peperangan dengan Hizbollah itu. Fakta Abdullah bin Sabak yang dikatakan pengasas ajaran Syiah adalah kisah hayalan sahaja.

Cerita Abdullah bin Sabak hanya dikutip oleh ahli-ahli sejarah seperti al-Tabari dari seorang penulis hayalan yang bernama Saif bin Umar al-Tamimi yang ditulis pada zaman Harun al-Rasyid. Jika seseorang itu meneliti hadith-hadith tentang kelebihan Ali atau hadith tentang Ali sebagai wasyi selepas Rasulullah SAWA yang dikatakan ajaran Abdullah bin Sabak - sebenarnya tidak terdapat riwayat yang mengutip dari Abdullah bin Sabak.

Sebaliknya banyak hadith-hadith tentang kelebihan Ali datangnya dari Rasulullah SAWA. Umar bin al-Khattab pula sewaktu mendengar berita kewafatan Rasulullah SAWA enggan mempercayai kewafatan Rasulullah SAWA tetapi Umar percaya Rasulullah SAWA tidak wafat sebaliknya baginda SAWA pergi menemui TuhanNya seperti yang berlaku kepada Nabi Musa AS menghadap Tuhan selama 40 hari dan hidup semula selepas itu. Menurut Umar Rasulullah SAWA hanya naik ke langit.Lihat Tabari, Tarikh al-Muluk wal Umman, Jilid III,halaman 198].

Kisah seperti ini tidak ada dalam catatan Hadith-hadith Nabi SAWA tetapi mengapakah kita tidak menuduh Umar terpengaruh dari ajaran Yahudi?


5. Syiah memaksumkan imam-imam mereka.

Mereka berhujah dengan ayat Quran 33:33 yang bermaksud:
" Sesungguhnya Allah hendak mengeluarkan dari kalian
kekotoran [rijsa] wahai Ahlul Bayt
dan menyucikan kalian
sebersih-bersihnya."

Istilah Ahlul Bayt menurut Hadith Rasulullah SAWA merujuk kepada lima orang iaitu Rasulullah SAW, Fatimah, Ali, Hassan dan Husayn seperti yang diriwayatkan dalam Sohih Muslim. Perkataan rijsa[kekotoran] sudah tentu bukan kotor dari segi ain seperti najis dan sebagainya tetapi merujuk kepada dosa-dosa dan apabila Allah 'hendak secara berterusan' [yuridu] menyucikan mereka sebersih-bersihnya tidak boleh diragukan lagi ia merujuk kepada penyucian total dari sebarang dosa yang dalam istilah lain bermaksud mereka adalah maksum.

Tambahan pula banyak ayat-ayat Qur an yang menjelaskan perintah Allah SWT supaya manusia berbuat maaruf dan meninggalkan perbuatan dosa. Apabila Allah SWT memerintah manusia berbuat maaruf dan meninggalkan dosa sudah tentu Allah SWT tahu bahawa manusia itu memang mampu meninggalkan dosa kerana Allah SWT tidak akan membebankan manusia dengan suatu perintah yang manusia tidak mampu buat.

Oleh itu sekiranya Syiah mengatakan imam mereka maksum iaitu tidak berbuat dosa serta Allah SWT memelihara mereka daripada perbuatan dosa berdasarkan Surah 33:33 itu, adakah ia bercanggah dengan al-Qur an? Adakah mereka yang tidak maksum layak menduduki maqam Imam ummah?


6. Syiah didakwa mengkafirkan para sahabat Nabi SAWA.

Syiah mendiskreditkan sahabat-sahabat "besar" Nabi SAWA seperti Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar adalah sahabat Nabi Muhammad SAW dalam gua ketika peristiwa hijrah dan merupakan khalifah yang pertama. Begitu juga Umar al-Khattab adalah sahabat Nabi SAWA dan khalifah kedua.

Sesiapa yang mencaci sahabat digolongkan sebagai kafir serta terkeluar dari Islam (Nabi SAW menyatakan sesiapa yang mencaci seorang muslim adalah fasiq dan membunuhnya adalah kafir[Sahih Bukhari, Jilid I Hadith 48]).

[Nota: Syi'ah tidak mencaci sahabat-sahabat Nabi SAWA tetapi menunjukkan perbuatan mereka yang menyalahi al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAWA seperti yang tercatat dalam kitab-kitab sejarah dan Hadith. Mereka menilai dan mengkritik perangai setengah sahabat dengan neraca al-Qur'an dan Hadith Nabi SAWA.] Dan jangan lupa! Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda bahawa terdapat sahabat yang masuk neraka seperti dalam riwayat Sahih Muslim dan Sahih Bukhari [akan dijelaskan di bawah].

Istilah sahabat telah digunakan dalam al-Qur an untuk Abu Bakar dan ini menunjukkan beliau terjamin masuk syurga dan tidak melakukan kesalahan.

Apakah kita lupa istilah sahabat juga digunakan dalam al-Qur an untuk teman Nabi Yusuf yang bukan beriman kepada Allah SWT ketika dalam penjara? Sila baca Surah Yusuf untuk memuaskan hati kita (istilah sohibi al-Sijni digunakan=sahabatku dalam penjara[nota:beliau bukan Islam dan bersama Nabi Yusuf AS dalam penjara]). Memang Nabi Muhammad SAWA mempunyai sahabat-sahabat yang baik seperti Ammar bin Yasir, Abu Dzar al-Ghifari, Salman al-Farisi dan sebagainya tetapi di Madinah juga ada golongan munafiq yang dipanggil "sahabat" oleh Nabi SAWA seperti Abdullah bin Ubay bin Salool.

Dalam Sohih Bukhari juga diriwayatkan bahawa ada segolongan "sahabat" yang bakal masuk neraka ketika berjumpa Nabi Muhammad SAWA di al-Haudh. Nabi SAWA memanggil mereka dengan istilah 'ashabi' [sahabatku]. Sila rujuk Sahih Bukhari[Sahih Al-Bukhari, Jilid 4, hlm.94-96];Sahih Muslim, Jilid IV, hadith 2133,2440.] Sahabat yang baik memang kita hormati , sanjungi dan ikuti tetapi sahabat yang jahat seperti Muawiyah yang menentang Imam Ali AS dan mencaci Ali AS di atas mimbar patutkah kita berdiam diri?Bukankah pasukan Muawiyah terlibat membunuh Amar bin Yasir dalam Perang Siffin? Nabi SAWA pernah menyatakan sebuah hadith dalam Sahih Bukhari menyifatkan orang yang terlibat dalam pembunuhan Amar adalah golongan pemberontak dan Rasulullah SAWA bersabda [terjemahan]:...Kamu (Amar) mengajak kelompok itu menuju ke Jannah tetapi kelompok itu mengajak ke neraka." [Sahih Bukhari, Jilid II,Hadith 462].

Al-Qur'an memerintahkan kita taat kepada Ulil Amri - pada ketika itu ialah Imam Ali AS sebagai khalifah yang sah dan wajib ditaati. Adakah tindakan Muawiyah itu selaras dengan ajaran al-Qur'an dan tidak boleh dikritik?

Kita ikuti sahabat yang baik dan kita tinggalkan contoh sahabat yang jauh dari ajaran al-Qur'an dan Hadith Nabi SAWA.Sejarah menunjukan bahawa seorang sahabat bernama al-Walid bin Utbah dikaitkan dengan asbabul nuzul ayat 6 Surah al-Hujurat iaitu menyatakan beliau seorang fasiq. Qudamah bin Maz un seorang sahabat Badar dihukum had pada zaman khalifah Umar kerana minum arak seperti dalam riwayat Sahih Bukhari.

Jika ada orang yang masih teguh dengan pendirian bahawa semua sahabat adalah 'adil maka apakah hukumnya Muawiyah mencari Ali di atas mimbar? Apakah ijtihad Muawiyah boleh sampai mencaci Ali? Sebaliknya orang yang mengkritik Muawiyah dikatakan mencaci sahabat Nabi SAWA? Jika seseorang yang menolak kekhalifahan Abu Bakar dianggap kafir, apakah pula hukumnya orang yang menolak perlantikan Ali setelah ada Hadith al-Ghadir yang menetapkan Ali AS sebagai khalifah selepas Nabi SAWA wafat? Bolehkah umat Islam memilih selain daripada yang telah ditetapkan oleh Rasulnya?

Alllah SWT berfirman dalam Surah Hud:113,bermaksud:
Dan janganlah kamu cenderung kepada
orang-orang yang zalim yang
menyebabkan kamu disentuh oleh
api neraka..."

Dan banyak lagi ayat-ayat al-Qur'an yang menyuruh manusia berbuat adil, dan melarang mereka dari berbuat zalim [nota: standard "adil"atau sebaliknya adalah berpandukan Kitab Allah Azza Wa-Jalla dan tidak ada sesiapa pun dikecualikan hatta para "sahabat" sekalipun].Balasan Allah SWT di akhirat kelak berasaskan segala amalan manusia ketika hidup di dunia - yang baik ke syurga dan yang buruk ke neraka.

Ini bermakna istilah "sahabatku"dalam Hadith Nabi SAWA tidak bermakna merujuk kepada semua sahabat [sekiranya jumlah yang hadir pada Haji Wida' iaitu seramai 140,000 atau 90,000 orang] adalah adil belaka. Sahabat yang adil memang ada seperti Abu Dzar al-Ghiffari yang dinyatakan sendiri oleh Nabi Muhammad SAWA [terjemahan]:"

Tidaklah langit menaungi seseorang dan tidak bumi membawa seseorang yang lebih jujur daripada Abu Dzar RA."[Sunan al-Tirmidzi, Hadith 3889]. Begitu juga terdapat segolongan sahabat yang engkar mengikut perintah Nabi SAWA terutamanya selepas Nabi SAWA wafat dan menjadi seteru Ahlul Bayt AS [keluarga Nabi SAWA] seperti yang tercatat dalam kitab-kitab sejarah. Nabi SAWA bersabda seperti yang diriwayatkan dalam Sunan al-Tirmidzi, hadith 3878,[terjemahan]:

"Cintailah Allah kerana nikmat-nikmatnya yang diberikan kepadamu dan cintailah aku kerana cinta kepada Allah dan cintailah keluargaku kerana cinta kepadaku."

Oleh itu sesiapa yang memusuhi Ahlul Bayt AS memang menjadi musuh Rasulullah SAWA dan Allah SWT.
Bukankah Allah SWT telah melaknat golongan yang zalim dalam al-Qur'an?
"Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) ke atas orang-orang yang zalim."[Qur'an: 11: 18]


7. Golongan Syiah sering didakwa bukan mengikuti ajaran Ahlul Bayt

Nabi Muhammad SAWAW.
Imam Ja far al-Sadiq bukan Syiah tetapi Ahlul Sunnah. Sebaliknya semenjak kita belajar Ahlul Sunnah nama Imam Ja far al-Sadiq tidak dikenal langsung tetapi golongan Syiah sering mengutip hadith-hadith dari beliau dalam pelbagai aspek ajaran Islam.

Malahan semua sarjana fiqh bersepakat bahawa Jaafar al-Sadiq pengasas fiqh Madzhab Syiah Jaafariyyah. Oleh itu dakwaan di atas dibuat atas dasar emosi dan tidak berasaskan akademik.


8. Syiah percaya kepada kepada al-Bada.

Tuduhan: Ilmu Allah Berubah-ubah Mengikut Sesuatu Peristiwa Yang
Berlaku Kepada Manusia (al-Bada').

Ulama Syiah tidak pernah menganggap Allah tidak mengetahui seperti tuduhan-tuduhan yang sengaja menyelewengkan maksud sebenar.

Al-Bada' tidak bermaksud kejelasan yang sebelumnya samar dinisbahkan kepada Allah SWT.
Al-Bada' yang difahami oleh ulama Syiah ialah adalah Allah berkuasa mengubah sesuatu kejadian dengan kejadian yang lain seperti nasikh dan mansukh sesuatu hukum syariah yang tercatat dalam al-Qur'an tetapi al-Bada' menyangkut tentang sesuatu kejadian [takwini] seperti hidup dan mati dan seumpamanya.

Misalnya kisah penyembelihan Nabi Ismail AS tetapi kemudian Allah Azza Wa-Jalla menggantikannya dengan seekor kibas.

Alllah SWT berfirman dalam al-Qur'an 13:39 yang bermaksud:
" Allah menghapus apa yang Ia kehendaki dan menetapkan
[apa yang Ia kehendaki]
dan di sisinya terdapat Umm al-Kitab [Lauh al-Mahfuzh]."
Sebuah hadith yang dipetik dari al-Kulaini dalam Kitabul Tauhid, Usul al-Kafi, hadith 373.
Maksudnya:"Allah tidak menerbitkan [bada']
pada sesuatu melainkan ianya berada
dalam ilmuNya sebelum [Allah menetapkan] berlakunya [bada' tersebut]."
Hadith 374 menegaskan bahawa:
Maksudnya:" Sesungguhnya Allah tidak menerbitkan Bada'
daripada kejahilan[Nya]".

Syeikh al-Mufid menulis dalam bukunya Awail Maqalat: " Apa yang saya fatwakan tentang masalah al-bada' ialah sama dengan pendapat yang diakui oleh kaum muslimin dalam menanggapi masalah nasakh [penghapusan] dan sebagainya seperti memiskinkan kemudian membuat kaya, mematikan kemudian menghidupkan dan menambah umur dan rezeki kerana ada sesuatu perbuatan yang dilakukan. Itu semua kami kategorikan sebagai bada' berdasarkan beberapa ayat dan nas-nas yang kami dapatkan dari para Imam."


9. Syiah mengamalkan Taqiyah.

Mereka mendakwa taqiyyah bermaksud berpura-pura dan sinonim dengan perbuatan golongan munafiq. Syeikh Muhammad Ridha al-Muzaffar menulis dalam bukunya Aqidah Syiah Imamiyyah:
"Taqiyah merupkan motto Ahlul Bayt AS bermotifkan
untuk melindungi agama, diri mereka dan pengikut mereka dari bencana
dan pertumpahan darah, untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin
serta penyelarasan mereka, dan memulihkan ketertiban mereka."

Mengikut Alamah Tabatabai' dalam bukunya Islam Syiah bahawa sumber amalan taqiyah ini merujuk juga kepada al-Qur'an seperti Surah 3:28, yang bermaksud:

"Jangan sampai orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir
sebagai teman-teman mereka selain orang-orang beriman.
Barang siapa yang melakukan hal itu maka tidak ada pertolongan dari Allah
kecuali untuk menjaga diri terhadap mereka [orang-orang kafir]
dengan sebaik-baiknya. Allah memperingatkan kalian [agar selalu ingat] kepadaNya.

Dan kepada Allahlah kalian kembali."
Ungkapan menjaga diri terhadap orang-orang kafir dengan sebaik-baiknya diterjemahkan dari tattaquu minhum tuqatan dan kata tattaquu dan tuqatan mempunyai akar kata yang sama dengan taqiyah.
Ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan peristiwa taqiyah Amar bin Yasir yang mencari perlindungan dengan mengaku kafir di hadapan musuh-musuh Islam iaitu dalam Surah 16:106:
Maksudnya:"....."kecuali orang yang terpaksa, padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman..."

Jelaslah bahawa taqiyah bukan membawa maksud berpura-pura seperti mana yang sering didakwa oleh orang yang berpura-pura berilmu pengetahuan tetapi sarat dengan kejahilan dan niat yang buruk.


10. Mengapa Syi'ah sujud di Tanah Karbala?

Soal mengapa pengikut Syi'ah bersujud di atas tanah Karbala tidak bercanggah dengan mana-mana hukum fiqh dari semua madzhab.
Solat adalah perbuatan ibadah yang cara-caranya terikat kepada amalan Rasulullah SAWA.Kaedah ini diterima oleh semua madzhab dan tidak ada sesiapa berani mempertikaikannya ataupun dia akan terkeluar dari senarai "Muslim".
Hadith Nabi SAWA yang mulia menjelaskan tentang cara-cara bersujud seperti yang tercatat dalam Sahih Muslim, misalnya hadith nombor 469, [terjemahan]....

Dan di mana saja kamu berada,
jika waktu solat telah tiba,
maka solatlah,
kerana bumi ialah tempat bersujud (masjid)
atau hadith nombor 473, [terjemahan]
"....Bumi dijadikan suci bagiku
[nota: misalnya debu tanah boleh digunakan untuk bertayammum]
dan menjadi tempat sujud [wa ju'ilat ila-l-ardh tuhura wa-masjidan].

Dan memang orang-orang Syi'ah mengikut contoh Imam-imam mereka seperti Imam Ali Zainal Abidin AS dan seterusnya, yang meletakkan tanah Karbala sebagai tempat untuk bersujud.
Yang patut diingatkan bahawa Syi'ah tidak sujud kepada tanah Karbala. [nota: perbuatan ini tentunya syirik] tetapi di atas tanah Karbala untuk merendahkan diri di hadapan Allah SWT.Imam Ja'far al-Sadiq AS ketika ditanya perkara tersebut berkata [bermaksud]:
"
....kerana sujud adalah untuk merendahkan diri di hadapan Allah,
oleh itu adalah tidak wajar seseorang itu bersujud
di atas benda-benda yang dicintai oleh manusia di dunia ini."
[Wasa'il al-Syi'ah,
Juzuk III, hlm.591]

Dalam hadith yang lain Imam Ja'far al-Sadiq AS menjelaskan bahawa:
"Sujud di atas tanah lebih utama
kerana lebih sempurna
dalam merendahkan diri
dan penghambaan di hadapan Allah Azza Wa-Jalla."
[Al-Bihar, Juzuk, 85, hlm.154]


11. Mengapa Syi'ah tidak boleh menerima Madzhab Ahlul Sunnah Wal-Jama'ah?

As-Sayyid Syarafuddin al-Musawi al-'Amili seorang ulama Syi'ah dengan tegas menjelaskan:
"Bila dalam kenyataannya kami kaum Syi'ah tidak
berpegang kepada Madzhab Asy'ari dalam hal usuluddin dan madzhab yang empat dalam cabang syari'at,
maka ini sekali-kali bukan kerana kami taksub;
bukan pula kerana meragukan usaha ijtihad para
tokoh-tokoh madzhab tersebut.
Dan juga bukan kerana kami menganggap mereka itu
tidak memiliki kemampuan, kejujuran,
kebersihan jiwa atau ketinggian ilmu dan amal,
tetapi sebabnya ialah bahawa dalil-dalil syari'ah
telah memaksa kami untuk berpegang hanya
kepada madzhab Ahlul Bayt AS, ahli rumah Rasulullah SAWA,
pusat Nubuwwah dan Risalah,
tempat persinggahan para malaikat,
dan tempat turunnya wahyu al-Qur'an.
Maka hanya dari merekalah kami mengambil cabang-cabang agama dan aqidahnya, usul fiqh dan kaedahnya.
Pengetahuan tentang al-Qur'an dan al-Sunnah.

Ilmu-ilmu akhlak, etika dan moral. Hal itu semata-mata kerana tunduk pada hasil kesimpulan dalil-dalil
dan bukti-bukti. Dan sepenuhnya mengikuti petunjuk
dan jejak penghulu para Nabi, Rasulullah SAWA."

[As-Syarafuddin al-Musawi,al-Muruja'at (Dialog Sunnah-Syi'ah, Penerbit Mizan,hlm.17-18]
Imam Ja'far al-Sadiq AS berkata:
"Hadith-hadith yang aku riwayatkan adalah dari ayahku.
Dan semua hadith tersebut adalah riwayat dari datukku.
Dan semua riwayat datukku
adalah dari hadith datukku al-Husayn AS.
Dan semua riwayat al-Husayn AS
adalah dari hadith al-Hasan AS.
Dan semua hadith al-Hasan AS
dari datukku Amirul Mu'minin Ali AS;
dan semua hadith Amirul Mu'minin Ali AS
adalah dari hadith Rasulullah SAWA.
Dan hadith-hadith Rasulullah SAWA
adalah Qaul Allah Azza Wa-Jalla."
[Al-Kulaini,al-Kafi, Juzuk I, hadith 154-14]
Bagi Syi'ah, tidak ada dalil bagi seseorang itu untuk menerima selain dari Mazhab Ahlul Bayt AS kerana perkara itu telah diputuskan oleh Allah SWT.


12. Imam Mahdi AS hidup lebih 1000 tahun

Mereka mendakwa kepercayaan bahawa Imam Mahdi AS masih hidup sejak peristiwa ghaib kubra pada tahun 329H adalah sesuatu kepercayaan yang karut. Mengapakah mereka lupa bahawa Allah SWT telah menghidupkan nabi-nabi terdahulu dengan umur yang panjang seperti Nabi Nuh AS dan Nabi Adam AS? Malahan umat Islam percaya Nabi Isa AS masih hidup hingga kini sejak beliau diangkat ke langit oleh Allah SWT dalam peristiwa beliau diselamatkan dari pembunuhan pengikut-pengikutnya. Ini bermakna beliau as telah hidup lebih seribu tahun.

Pemuda-pemuda Ashabul Kahfi di bangkitkan oleh Allah SWT setelah ditidurkan dengan begitu lama.

Begitu juga umat Islam percaya Nabi Khidir as masih hidup hingga kini. Malahan syaitan la'natullah alahi masih hidup sejak makhluk ini engkar kepada Allah SWT. Ini bermakna syaitan telah hidup lebih lama dari 1,000 tahun. Tidakkah kisah-kisah ini menunjukkan bahawa umur panjang bagi Imam Mahdi AS bukanlah sesuatu yang mustahil kerana Allah SWT Maha Berkuasa bagi perkara yang sekecil itu.


13. Aqidah Raja'ah

Al-Allamah al-Safi menjawab tentang masalah rajaah seperti berikut: " Qaul tentang raja'ah itu merupakan qaul dari itrah Rasulullah SAWA yang suci. Perbahasan tentang masalah ini telah beredar dikalangan mereka dan selain dari mereka. Pedoman mereka dalam masalah ini adalah ayat-ayat Qur'an dan hadith-hadith yang mereka riwayatkan dengan sanad yang turun temurun dari datuk-datuk mereka sampai kepada datuk Rasulullah SAWA.

Kenyataan yang tidak mungkin diingkari oleh para peneliti masalah-masalah keislaman adalah bahawa sumber aqidah raja'ah itu adalah imam-imam Ahlul Bayt AS yang telah ditetapkan kewajipan berpegang teguh kepada mereka dengan keterangan dari hadith al- tsaqalain dan lain-lainnya.

Pihak syiah mengatakan tentang raja'ah secara global. Mereka membandingkan hal ini dengan kejadian-kejadian para ummah terdahulu seperti yang diceritakan oleh Allah Ta'ala dalam firmanNya, yang bermaksud:" Apakah kamu tidak memerhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-beribu (jumlahnya) kerana takut; maka Allah berfirman kepada mereka:" Matilah kamu," kemudian Allah menghidupkan mereka (kembali)...(Al-Baqarah:243).

Ayat yang lain, bermaksud:" Atau apakah (kamu tidak memerhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atasnya. Dia berkata:" Bagaimanakah Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah ia roboh?" Maka Allah mematikan orang itu selama seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali....(Al-Baqarah:259)

Dan boleh juga mengambil teladan dari firman Allah Ta'ala dalam ayat berikut yang bermaksud:" Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada pada dirinya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami melipatgandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah." (Al-Anbiya:84)

Mereka golongan syiah mengatakan bahawa hal itu tidak mustahil akan terjadi kepada umat ini berdasarkan firman Allah Ta'ala:
Maksudnya:" Dan (ingatlah) hari (ketika) Kami kumpulkan dari tiap-tiap umat segolongan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, lalu mereka dibahagi-bahagikan (dalam kelompok-kelompok)." (Al-Naml:83)

Hari yang disebutkan Allah SWT dalam ayat di atas, tentu bukan Hari Qiamat, kerana pada Hari Qiamat Allah membangkitkan semua umat manusia, sebagaimana yang difirmankanNya dalam ayat berikut:
Maksudnya:" Dan Kami kumpulkan seluruh manusia dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka." (Al-Kahfi:47)

Dalam dua ayat di atas, Allah SWT menyatakan bahawa Hari Kebangkitan itu ada dua. Kebangkitan umum dan kebangkitan khusus. Hari yang dibangkitkannya segolongan orang-orang dari tiap-tiap umat itu bukan Hari Qiamat, jadi ia tidak lain adalah Yaumul Raja'ah.

Adapun tentang perincian Yaumul Raja'ah itu tidak ada hadith-hadtih sahih yang menyatakannya. Hadith-hadith yang menyebutkan tentang perincian Yaumul Raja'ah adalah hadith-hadith dhaif sama ada dari segi dalalahnya ataupun sanadnya. Pendapat ini juga dinyatakan oleh Lutfollah Saafi Golpayegani dalam bukunya yang bertajuk "Aqidah Mahdi dalam Syi'ah Imamiyyah" menyatakan bahawa hadith-hadith perincian tentang Yaumul Raja'ah adalah hadith-hadith dhaif dan ditolak oleh ulama hadith syi'ah.

Aqidah Raja'ah mempunyai asas ajaran dalam al-Qur'an dan dinyatakan oleh para Imam Ahlul Bayt AS, oleh itu adakah wajar kita menolaknya?


14. Isu-isu al-Qur'an, Mushaf, dan Wahyu kepada Fatimah AS

Apabila dibicarakan tentang persamaan antara sunnah dan syiah bererti di situ pasti ada perbezaannya. Permasalahannya apa bila ada perbezaan, apakah pegangan kepada satu mazhab menjadi penilai kebenaran dalam mengukur mazhab yang lain? atau di kembalikan kepada Al Quran dan hadis dan mengukurnya secara rasional yang bebas dari ketasuban bermazhab?

Tomahan terhadap syiah bukan satu yang baru dsan sepertinya tidak akan berahkir. Setelah membaca banyak buku2 yang menyalahkan syiah, kami melihat hal ini disebabkan oleh beberapa perkara. 1- Menilai kebenaran berdasarkan mazhab tertentu.
2- Menafsir sendiri riwayat syiah tanpa melihat penfsiran ulamak syiah tentang hadis tersebut, sehingga natijah yang diambil berdasarkan selera sendiri.
3- Mengambil kata-kata ulamak sebagai sandaran tanpa menilai kembali pandangan mereka dan suasana mereka mengeluarkan fatwa.
4- Menungkilkan hadis separuh separuh hingga menyebabkan maknanya berubah.
5- Menanggap apa saja yang tertulis dalam kitab-kitab hadis muktabar syiah itu sahih sebagai mana Ahlu suunah menanggap semua yang ada dalam Bukhari itu sahih.

Kami berterima kasih kepada penulis ABC kerana komennya atas rencana 'persamaan dan perbezaan antara sunnah dan syiah'. Izinkan kami di sini untuk mengomentar kembali tilisannya berdasarkan ukhwah islamiah dan perbahsan ilmiah tulen yang menjadi pemangkin kepada pendekatan antara mazhab2 islam untuk saling mengenali hingga tidak tibul tomahan2 liar.

a- Al Quran a- makna mushaf Kebanyakan umat Islam menanggap bahawa perkataan 'mushaf' itu senonim 'Al Quran'. Sedangkan dalam lisan Al Quran dan hadis Rasul tidak sedemikian. Mushaf itu ertinya kumpulan tulisan dan selepas wafat Rasul digunakan untuk ayat2 al quran dikumpulkan oleh para sahabat dan juga tulisan2 hadis.
Oleh itu jika ada perkataan mushaf dalam riwayat syiah jangan terus menanggap ia adalah Al Quran. Penulis ABC juga ada menungkilkan riwayat dari Al Kafi yang menunjukan bahawa mushaf Fatimah bukan Al Quran tetapi kumpulan khabar yang di sampaikan oleh Jibril.

b- Wahyu untuk Fatimah as. Persoalannya di sini apakah ia mungkin atau tidak? Pertama kita perlu mengenal maqam Fatimah as. terlebih dahulu. Tiada siapa yang mengingkari bahawa ia adalah penghulu wanita sekian alam, yang paling mulia antara 4 wanita yang termulia.

Kedua apakah Jibril boleh menurunkan wahyu untuk selain nabi. Yang mengatakan tidak bererti ia jahil tentang Al Quran. Dalam surah Ali Imran ayat 42 hingga 45 menceritakan pembicaraan jibril dengan Mariam. Dan Fatimah as. lebih mulia dari Mariam. Riwayat tentang turunnya Jibril pada Fatimah banyak dalam kitab-kitab syiah. Sudah tentu mereka yang menjauhinya tidak akan meriwayatkan peristiwa tersebut.


15. Mazhab Ahlu Sunnah

a. Seperti penulis ABC setuju bahawa mazhab ahlu sunnah terbentuk secara evolusi. Malah pengikutnya hari ini pun tidak mengamalkan fatwa Imam2 mereka baik dari segi fekah maupun akidah secara tulin. Tetapi permasalahnnya bukan di sini tapi pada sumber hukum. Mereka mengenepikan Imam2 Ahlu Bait as. baik dalam fekah maupun akidah. Bagaimana hati boleh aman dengan apa yang di amalkan sedangkan bahtera penyelamat umat Muhammad SAWA ditinggalkan. Bukankah mereka sebagaimana sabda Ar Rasul SAWA. Umpama ahlu baitku di dalam umatku seperti bahtera Nuh siapa yang menaikinya selamat siapa yang meninggalkannya akan tenggelam.

b. Para pemerintah yang zalim ketika itu mengambil kesempatan untuk menyebarkan fatwa para mujtahid tersebut dan menakutkan oprang ramai dari mendekati Imam-imam ahlul- bait dan ulamak mereka.

c. Penutupan pintu ijtihad oleh khalifah yang zalim bukan satu yang pelik tetapi yang pelik adalah apabila para ulamak besar ahlu sunnah juga merelakan hal ini seperti Al Ghazali, Sayuti. Ibnu Hajar dll dan akhirnya percubaan membuka pintu ijtihad dianggap dosa besar sebagaimana penulisan hadis padsa kurun pertama hijrah dan tidak melaknat Imam Ali pada hari jumaat pada 80 tahun pertama pemerintahan bani umaiyah.

Sedangkan proses ijtihad terus subur dalam mazhab syiah dan tidfak timbul kekalutan dalam permasalahan mujtahid palsu. Dan para muqalid sentiasa bertaqlid kepada mujtahid yang hidup pada setiap waktu.


16. Ahlul Sunnah Wa l-Jama'ah Dan Ahlu Bait AS

Syiah menerima bahawa ahlu sunnah mencintai dan memuliakan ahlu bait, tetapi apakah mereka benar-benar meletakan ahlu bait pada posisi yang Allah SWT telah letakan? Apakah tiada hikmah mengapa mereka disucikan dan diwajibkan kecintaan ke atas mereka dan solat dan selawat tidak diterima tanpa menyebut mereka.

Jika ahlu sunnah benar2 menghormati mereka sepatutunya mereka juga perlu menghormati orang-orang yang mengikuti mereka, bukan menuduh dengan hal2 yang tidak benar. Kita diwibkan untuk mengikuti Al Quran, apakah tidak wajib kita mengikuti mereka yang disucikan untuk menjaga Al Quran dan mendampingi Al Quran.


17. Ilmu Para Imam AS

Hadis dari Imam Jaffar as Sadeq itu jelas menunjukkan, ilmu yang mereka miliki adalah kurnia Allah bukan mereka memiliki dengan sendiri, kerana ini akan mendatangkan syirik.

Di dalam surah yunus ayat 20 dan an An'am jelas menunjukan bahawa yang mengetahui hal yang ghaib itu hanya Allah. Dan dalam surah az zhuruf ayat 4, al Buruj ayat 22, ar radh ayat 39, menunjuk bahawa ilmu Allah itu terletak di kitab almknun, kitabun mubin, umul kitab, luh mahfuz. Ia juga dipanggil Imamul mubin "kulu sha'ain ahsaina hu fi Imamul mubin" walau namanya berbeza ia memiliki hakikat yang sama iaitu khazahna ilmu Allah yang Allah berikan kepada orang2 yang tertentu (surah aj jin ayat 27) dan tidak akan menyentuhnya kecuali yang disucikan (al waqih'ah ayat 79) dan kita semua tahu yang disucikan hanya ahlu bait (al ahzab ayat 33)
Jadi jika ada yang masih tidak faham yang ahlu bait mengetahui yang ghaib atas izin Allah dengan mengunakan dalil-dalil Al Quran yang jelas bererti orang tersebut mahu meletakan dirinya pada jalan kedegilan dan ketasuban.


18. Maqam Para Imam AS

a. Di dalam Al Quran membicarakan tugas para Rasul hanya sebagai hanya untuk menyampaikan sahaja (iblaq) dan tidak lebih dari itu. "ma ala Rasul ilal balaq" dan juga surah An Nissa, ayat 165 dan As Syura, ayat 3 dll.
Selain dari itu ada ayat2 yang membicarakan satu lagi maqam selain maqam Rasul dan memiliki tugas yang lain dengan tugas rasul iaitu maqam Imam
'kami jadikan mereka Imam untuk memberi hidayah dengan urusan kami ketika mereka bersabar dan yakin dengan ayat2 kami' surah as sajadah ayat 24.

Ayat di atas jelas menunjukkan sebahagian Rasul di angkat menjadi Imam, satu maqam yang lebih tinggi dari maqam Rasul. Tugas Imam di sini berbeza dengan tugas Rasul iaitu sebagai pemberi hidayah.
Nabi Ibrahim sebagaimana dalam surah al Baqarah ayat 124 diangkat menjadi Imam selepas ia menjadi Rasul. Jelas di sini menunjukan maqam Imam lebih tinggi dari maqam Rasul. Persoalanya sekarang apakah maqam Imam ini berterusan? Sudah tentu selagi manusia wujud di atas muka bumi ini selagi itu manusia perlu kepada hidayah dan ini tugas Imam. Dalam surah di atas Allah juga mengangkat zuriah Ibrahim sebagai Imam sebagimana Ibrahim. Dalam surah Ar Radh, ayat tujuh, Allah SWT. berfirman "Sesungguhnya kau (Muhammad) pemberi peringatan dan untuk setiap kaum ada yang memberi hidayah"

Kami ulangi lagi bahawa tugas memberi hidayah adalah tugas Imam dan hanya Allah yang melantik Imam bukan manusia. Dan ayat ini jelas menunjukan Imam yang dilantik oleh Allah itu berterusan dan maqamnya lebih tinggi dari maqam Rasul. Apakah kita lupa pada satu hadis yang mahsyur yang bermaksud "ulamak umatku lebih afdhal dari para nabi bani israel" atau kita menanggap hadis ini daif. Atau hadis yang mengatakan bahawa Nabi Isa as. akan solat dibelakang Imam Mahdi juga tidak benar?

Rujuk hadith [Sahih Muslim Kitabul Iman Hadith 0293], dari laman [http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamentals/hadithsunnah/muslim/001.smt.html#001.0293] petikan dalam Bahasa Inggeris seperti berikut: "Jabir b. 'Abdullah reported: I heard the Messenger of Allah (may peace be upon him) say: A section of my people will not cease fighting for the Truth and will prevail till the Day of Resurrection. He said: Jesus son of Mary would then descend and their (Muslims') commander would invite him to come and lead them in prayer, but he would say: No, some amongst you are commanders over some (amongst you). This is the honour from Allah for this Ummah." Lihat juga Sahih al-Bukhari, Arabic-English, v4, Tradition #658,"The Prophet (PBUH&HF) said: "What would be your situation if the Son of Marry (i.e. Jesus) descends upon you and your Imam is among you?".

Maksudnya: Apakah yg akan kamu lakukan apabila Nabi Isa A.S turun kpd kamu dan ketika itu Imam (pemimpin) kamu adalah di antara kamu juga?” Malangnya rujukan internet dari laman http://www.usc.edu/dept/MSA/fundamentals/hadithsunnah/bukhari/055.sbt.html telah diubah terjemahannya dari teks arabnya kepada berikut:" Allah's Apostle said "How will you be when the son of Mary (i.e. Jesus) descends amongst you and he will judge people by the Law of the Quran and not by the law of Gospel (Fateh-ul Bari page 304 and 305 Vol 7)."

Ini teks arabnya yang asli rujukan dari Sahih al-Bukhari, Al-Bukhari, Muhammad b. Isma`il (d. 256 AH), volume 4, page 437, hadith number 658 Pakistan: Sethi Straw Board Mills (Conversion) Ltd (9 vols), translated by Muhammad Muhsin Khan, 1971 CE :

b. Apakah pelik apabila kita mengatakan para Imam itu lebih mulia dari Malaikat sedangkan Abu Basyar Adam as. merupakan khalifah pertama dari sekian kahlifah Allah mendapat didikan langsung dari Allah (syarat khalifah Allah) dan menjadi guru kepada para Malaikat dan menjadi sujutan Malaikat, apakah ini tidak menunjukan bahawa maqam insan lebih mulia dari maqam malaikat? apakan lagi maqam imam. Apakah ini bererti mendewakan mereka atau meletakan mereka pada tempat yang sewajarnya?

Apakah menjadikan semua sahabat itu adil dan tidak boleh disentuh dan dikritik bukan pendewaan? Dan bila keisalaman dan kekufuran seseorang diukur dengan sahabat? Apakah ini bukan pendewaan terhadap mereka? Apakah segala perubahan yang dilakukan oleh khalifah pertama, kedua, ketiga tidak mengubah hukum Allah? Dan apabila menerima perbuatan mereka dan menolak hukum Allah bukan pendewaan?


19. Maqam Imam 'Ali AS

Mereka menyatakan Syiah mempercayai Saidina Ali as separuh Tuhan, menganggap guruh dan petir itu suara Ali,mempercayai imam-imam 12 itu lebih baik dari para malaikat yang muqarrabun kepada Tuhan, menggunakan mushaf al-Quran lain dari mushaf Uhtman dan lain-lain.

Di dalam Usul al-Kafi oleh al-Kulaini adalah dilapurkan bahawa Abu Basir seorang kepercayaan Imam Jaafar telah datang berjumpa dengan Imam Jaafar. Abu Basir bertanya kepada Imam Jaafar berhubung dengan ilmu dan kelebihan Saidina Ali dan imam imam syiah… didalam buku tulisan Al Kualaini tersebut Imam Jaafar telah dikatakan menjawab sedemikian..

" Kita juga ada Mushaf Fatimah dan apakah yang orang ramai tahu tentang Mushaf Fatimah ? Ianya adalah sebuah Mushaf yang tiga kali lebih besar dari Al Quraan dan tidak ada satu ayat Al Quraan mereka didalam nya. (Usul al-Kafi oleh al-Kulaini ms 146)

Seterusnya Imam Jaafar bila ditanya lagi oleh Abu Basir berhubung dengan Mushaf Fatimah , Abu Basir menyatakan Imam Jaafar menyebut : " Apabila Allah menaikkan Rasul Nya dari dunia (wafat) … Fatimah menjadi terlalu sedih yang teramat sangat dan berduka cita yang hanya diketahui oleh Allah saja. Allah kemudian menurunkan malaikat untuk memujuknya semasa kesedihan tersebut dan malaikat tersebut telah berbual bual dengan Fatimah. Fatimah menceritakan peristiwa tersebut kepada Ali dan Ali meminta Fatimah memberitahunya apabila malaikat tersebut datang.

Setiap kali malaikat datang Ali telah mencatatkan segala gala yang disebut oleh malaikat tersebut… dan Inilah yang di panggil mushaf Fatimah. Usul al-Kafi oleh al-Kulaini ms 147) Al Kulaini seterusnya didalam kitab yang sama menyatakan bahawa Jabir Al Jufi berkata "aku telah mendengar Muhammad Al Baqir berkata " Seseorang tidak akan mengatakan bahawa Al Quraan telah diturunkan sekelompok kecuali dia itu pendusta. Tiada seorang pun yang mengumpul dan menghafal semuanya yangt di turunkan Nya kecuali Abi bin Abi Talib dan para pengikut sesudahnya. " [muka surat 228]


20. Syiah Menyembunyikan Kitab-kitab Mereka?

"Sebagai satu ajaran yang telah lama bertapak, Syi`ah mempunyai rujukan-rujukan sendiri yang muktabar. Bagaimanapun sudah menjadi polisi kepada mereka untuk tidak membiarkan kitab-kitab mereka jatuh kepada orang lain oleh kerana itu, mereka menyembunyikannya. Malahan rujukan mereka itu hanya dibaca oleh Ayatullah-Ayatullah sahaja. Adapun Syi`ah yang tidak menjangkaui martabat tersebut tidak layak untuk membacanya sehingga mereka mendakwa orang-orang yang bertaqwa sahaja yang berhak.

Alangkah malang sungguh mereka yang menerima ajaran Syi`ah tetapi tidak dapat menatapi sabdaan-sabdaan para Imam. Kitab-kitab berautoriti seperti al-Kafi karangan al-Kulaini, al-Istibsar, Tahzib al-Ahkam dan Man layahduruhu hanya bacaan para Ayatullah sahaja"[lihat: Apa Beza Syiah dan Yahudi?.

Dakwaan ini tidak benar sama sekali, kerana pada hari ini kitab-kitab syiah telah banyak disiarkan dalam internet termasuklah kitab-kitab hadith dan tafsir al-Qur'an seperti al-Kafi, Biharul Anwar, al-Istibsar, tahdzib al-ahkam, Man layahduruhu ila faqih, al-Mizan fi tafsir dan sebagainya. Sesiapa pun boleh membacanya. Silalah ke laman al-shia.com alhikmeh.com, Rafed.net dan sebagainya.

Komen Kesimpulan dari para para diatas… bagaimana mungkin seorang ahli sunnah tidak menyatakan kehairanan nya diatas isu adanya orang orang syiah yang berfahaman ujudnya satu kitab Al Quraan yang selain nya dari mushaf Othman…. Apabila perkara sedemikian memang tertulis didalam salah sebuah kitab pokok rujukan Syiah iaitu Usul al-Kafi oleh al-Kulaini.

Nota:
Permasalahannya ialah pihak Ahlul Sunnah tidak dapat membezakan antara hadith yang sahih atau sebaliknya dalam kitab-kitab Syiah. Menurut Imam Ja'far al-Sadiq AS hadith yang bercanggah dengan al-Qur'an hendaklah ditolak samasekali. Imam Ja'far al-Sadiq AS meriwayatkan sebuah Hadith dari datuknya Rasulullah SAWA [bermaksud]: " Setiap Hadith yang kamu terima dan bersesuaian dengan Kitab Allah tidak diragukan datangnya daripada aku dan Hadith-hadith yang kamu terima yang bertentangan dengan Kitab Allah, sesungguhnya bukan datang daripadaku." [Al-Kulaini, al-Kafi, Jilid I, Hadith 205-5].

Pengertian umum, Ahlul Sunnah ialah sesiapa yang mengikut Sunnah Nabi SAWA kemudian ia dihimpun kepada empat madzhab fiqh yang diketuai oleh Imam Malik yang lahir pada tahun 95 Hijrah dan meninggal tahun 179 Hijrah, Abu Hanifah yang lahir tahun 80 Hijrah dan meninggal tahun 150 Hijrah, Syafie yang lahir tahun 150 Hijrah dan meninggal tahun 204 Hijrah, dan Ibnu Hanbal yang lahir tahun 164 Hijrah dan meninggal tahun 241 Hijrah.

======================================


Written by Abu Ashbal
Wednesday, 26 December 2007
Kedudukan Imam 12 Mengikut Madzhab Syiah


Syiah Imamiah melandaskan kepercayaan mereka bahawa Imam Dua Belas lebih mulia dari para Nabi yang mursal, kepada al-Qur’an dan hadith-hadith Nabi SAWAW. Adapun al-Qur’an, mereka merujuk kepada Surah al-Baqarah, ayat 124 yang bermaksud:
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِن ذُرِّيَّتِي قَالَ لاَ يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim di uji TuhanNya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata:“(Dan saya pohon juga) dari keturunanku.” Allah berfirman: “Janjiku(ini) tidak mengenai orang yang zalim.”
Ayat ini diturunkan selepas Nabi Ibrahim diuji dengan beberapa ujian dan selepas itu baru beliau dilantik menjadi Imam.

Imam Ja’far al-Sadiq AS berkata: Sesungguhnya Allah SWT telah mengambil Ibrahim sebagai seorang hamba, sebelum Dia mengambilnya menjadi nabi. Dan sesungguhnya Dia mengambilnya menjadi nabi sebelum Dia mengambilnya menjadi rasul, dan Dia mengambilnya menjadi rasul sebelum beliau menjadi Khalil, dan beliau menjadi Khalil sebelum beliau menjadi Imam. Manakala Allah SWT menghimpunkan semua perkara itu, iaitu kenabian, kerasulan, kekhalilan, Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikan kamu Imam kepada seluruh manusia. Lalu Ibrahim berkata:Kesemua keturunanku? Allah berfirman: JanjiKu tidak mengenai orang yang zalim.”

Imam Ja’far al-Sadiq AS berkata: “Orang yang bodoh tidak boleh menjadi Imam yang taqwa.”(al-Kafi oleh al-Kulaini, Jilid II, 185).

Al-Alamah Tabatabai dalam Tafsir al-Mizan, Vol. I hlm. 277 menegaskan bahawa ayat ini memberi beberapa keistimewaan antaranya:

1. Imam itu adalah dilantik oleh Allah.
2. Imam wajib terpelihara maksum dan peliharaan Allah.
3. Bumi yang wujud manusia tidak terlepas dari Imam yang hak.
4. Imam wajib disokong/ditolong oleh Allah.
5. Wajib beliau seorang yang alim dengan segala yang diperlukan oleh manusia dalam urusan keduniaan dan keakhiratan.
6. Mustahil wujud di kalangan orang yang melebihinya tentang kelebihan jiwa.

Oleh itu mereka menyatakan bahawa jawatan Imamah itu secara umum lebih tinggi dari jawatan kenabian biasa dan lebih rendah dari kedudukan Nabi Muhammad SAWAW kerana mengikut mereka, Nabi Ibrahim AS telah diangkat dari martabat kenabian yang mursal kepada martabat Imamah (Al-Alamah Tabatabai, Tafsir al-Mizan, Jilid I, hlm. 228).

Seterusnya mereka berhujah adakah adil bagi kita memperkatakan bahawa Nabi yang diutus kepada seribu orang itu sama dengan nabi yang diutus kepada 30 ribu orang? Tetapi tidak dinafikan bahawa tujuan nabi-nabi adalah sama, cuma berbeza dari segi martabat, kedudukan dan pengetahuan.

Mereka mengemukakan pertanyaan, kenapa nabi kita Muhammad SAWAW semulia-mulia makhluk, semulia-mulia nabi dan rasul?

Ini adalah kerana Nabi kita dapat mengetahui kebesaran Allah yang tidak boleh dikias. Kerana baginda lebih sempurna, contohnya lebih afdal, lebih awal pada tiap-tiap sesuatu, sama ada dari sudut akalnya, kebijaksanaannya, idraknya yang mendalam, keberaniannya, kemuliaannya, peribadinya, sifat-sifat insannya yang terpuji, dan sebagainya. Oleh itu baginda lebih mulia dari nabi-nabi dan rasul-rasul (Lihat Ja’far al-Murtadha al-Amili, As-Sahih min Sirah an-Nabi al-A’zam, Qom, 1403, hlm. 303-304)

Oleh itu mereka menyatakan Wasi kepada Nabi Muhammad SAWAW itu juga mestilah melebihi para nabi yang mursalin.

Nabi SAWAW bersabda: “Ulama umatku lebih mulia dari nabi Bani Isra’il.”(Lihat Yanabi’ al-Mawaddah, Baghdad, 1385H, hlm. 475)

Mereka menegaskan bahawa maksud ulama dalam hadith itu bukanlah ulama biasa yang melakukan dosa, kerana tidak munasabah ulama yang melakukan dosa itu lebih mulia dari para nabi yang maksum.

Oleh itu apa yang dimaksudkan dengan ulama itu ialah manusia yang maksum, iaitu Imam Dua Belas (Lihat as-Sahih min Sirah an-Nabi al-A’zam, Ja’far al-Murtadha, Qom, 1981, Jilid III, hlm. 304-305)

Di riwayatkan oleh Imam Rida AS dari datuk neneknya AS berkata: Dan telah bersabda Rasulullah SAWAW: Allah tidak menjadikan makhluk lebih baik daripadaku dan lebih mulia daripadaku, Ali AS berkata: Engkau berkata wahai Rasulullah, kamu lebih baik atau Jibril? Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah telah melebihkan kedudukan nabi-nabi al-Mursalin dari MalaikatNya al-Muqarabbin, dan melebihi aku di atas sekalian nabi-nabi dan para rasul. Dan kelebihan selepasku untuk kamu wahai Ali dan imam-imam selepas kamu, kerana para malaikat adalah khadam kita, khadam orang yang mencintai kita sehingga baginda bersabda: Bagaimana kita telah melebihi para malaikat kerana kita mendahului mereka mengenali Tuhan kita, bertasbih, bertahlil kepadaNya sehingga baginda bersabda: Kemudian sesungguhnya Allah telah menjadikan Adam, maka Allah telah meletakkan kita di hujung sulbinya dan Dia memerintahkan sujud kepadaNya, kerana menghormatinya. Dan sujud mereka itu adalah ibadat. Dan sujud mereka kepada Adam adalah untuk kemuliaan dan ketaatan kerana kita berada di sulbinya (Yanabi al-Mawaddah, hlm. 485; Fusul al-Muhimmah oleh al-Hurr al-Amili, Najaf, 1374, hlm. 158).

Daripada Imam Ja’far al-Sadiq AS dari datuk nenek beliau berkata: “Sesungguhnya Allah SWT telah menjadikan Ulul Azmi kepada rasul-rasul dan melebihkan kedudukan mereka dengan ilmu. Dan kami telah mewarisi ilmu mereka dan Dia melebihi kami di atas ilmu mereka. Dan Rasulullah SAWAW mengetahui apa yang mereka tidak mengetahui. Kami mengetahui ilmu Rasulullah SAWAW dan ilmu-ilmu mereka.” (Fusul al-Muhimmah, hlm. 152)

Daripada Said bin Jubair daripada Ibn Abbas berkata: Bersabda Rasulullah SAWAW: “Sesungguhnya khalifah-khalifahku dan wasi-wasiku, hujah-hujah Allah di atas makhlukNya selepasku ialah 12 orang; yang pertama Ali dan yang akhirnya cicitku al-Mahdi; maka itulah Isa b. Maryam bersembahyang di belakang al-Mahdi (Yanabi al-Mawaddah, hlm. 447)

Oleh itu mereka menegaskan bahawa martabat Imam al-Mahdi AS lebih tinggi dari Nabi Isa AS sebagai Nabi mursal kerana beliau akan bersembahyang di belakang Imam al-Mahdi AS (Ibid., hlm. 447)

Rasulullah SAWAW bersabda: Barang siapa yang ingin melihat kepada Adam tentang ilmunya, kepada Nuh tentang azamnya, kepada Ibrahim tentang lembutnya, kepada Musa tentang kehebatannya, kepada Isa tentang kezuhudannya maka hendaklah ia melihat kepada Ali b. Abi Talib (Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad, Bab Kelebihan Ali, Fakhuruddin al-Razi, Mafatih al-Ghaib, Surah Mubahilah, Yanabi al-Mawaddah, Bab 40).

“Imam-imam telah wujud sebelum wujudnya alam ini sebagai cahaya-cahaya, dan Allah jadikan mereka berpusing di sekeliling Arasy.”

Pendapat seperti ini adalah sandarannya dalam beberapa hadith Nabi dalam kitab Ahli Sunnah sendiri. Antaranya ialah hadith yang dikeluarkan oleh Abu al-Mu’ayyid Ibn Ahmad al-Khawarizmi dengan sanadnya dari Abu Sulaiman yang berkata: “Aku mendengar Rasulullah SAWAW dan Ahli Baitnya berkata: Di malam aku dinaikkan ke langit(Mi’raj) Allah SWT berkata kepadaku...lihatlah di kanan Arasy, lalu aku memaling ke arahnya, maka aku dapati Ali, Fatimah, Hasan, Husayn, Ali b. Husayn, Muhammad b. Ali, Ja’far b. Muhammad, Musa b. Ja’far, Ali b. Musa, Muhammad b. Ali, Ali b. Muhammad, Hasan b. Ali, dan Muhammad al-Mahdi b. Hasan; ia seperti cakerawala yang berpusing di kalangan mereka. Dan dia berfirman: “Wahai Muhammad, mereka itulah hujah-hujahKu ke atas hamba-hambaKu, merekalah wasi-wasiKu (khalifah-khalifahku).”(Yanabi al-Mawaddah, hlm. 487)

Sabda Nabi SAWAW: “Wasi-wasi engkau tertulis di tepi ArasyKu, lalu aku melihat dan mendapati 12 cahaya (Ibid)”. Kejadian Nabi Muhammad dan wasi-wasinya (Ibid.hlm. 485).

Sabda Nabi SAWAW: “Aku telah menjadi nabi ketika Adam bersabda antara tanah dan air.” Sabdanya lagi: Allah menjadikan cahayaku yang terawal sekali. Sabdanya lagi: Aku dan Ali adalah satu cahaya di sebelah kanan Arasy sebelum Allah menjadikan Adam 11 ribu tahun, sebahagian kami berpisah di sulbi Abdul Muttalib, satu bahagian adalah aku dan sebahaian yang lain ialah Ali.” (Musnad oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Bab Kelebihan Ali, Yanabi’ al-Mawaddah, hlm. 101).

Demikianlah antara hujah-hujah Syiah Imamiah dalam soal kelebihan Imam 12, serta kejadian mereka dalam hadith-hadith Nabi SAWAW yang ditulis oleh ulama-ulama Ahli Sunnah.

====================


Written by Abu Ashbal
Wednesday, 26 December 2007
Abdullah ibn Saba': Fitnah Kubra Terhadap Syi'ah
(Terjemahan dari Jurnal Al-Tawhid, Vol.IV, No.4, 1407H, hlm.158-160)


Tuduhan bahawa madzhab syiah adalah ajaran daripada si Yahudi yang bernama Abdullah bin Saba' telah lama diketengahkan kepada masyarakat Islam dan semacam sudah sebati dengan masyarakat bahawa syiah adalah ajaran Yahudi Abdullah ibn Saba' yang berpura-pura memeluk Islam tetapi bertujuan untuk menghancurkan pegangan aqidah umat Islam.
Beliau dikatakan mempunyai madzhab Saba'iyyah mengemukakan teori Ali adalah wasi Muhammad SAWA. Abdullah ibn Saba' juga dikenali dengan nama Ibn al-Sawda' atau ibn 'Amat al-Sawda'- anak kepada wanita kulit hitam. Pada hakikatnya cerita Abdullah ibn Saba' adalah satu dongengan semata-mata.
Allamah Murtadha Askari telah mengesan dan membuktikan bahawa cerita Abdullah ibn Saba' yang terdapat dalam versi sunni adalah bersumberkan dari Al-Tabari (w.310H/922M), Ibn Asakir (w571H/1175M), Ibn Abi Bakr (w741H/1340M) dan al-Dhahabi (w747H/1346M). Mereka ini sebenarnya telah mengambil cerita Abdullah ibn Saba' dari satu sumber iaitu Sayf ibn Umar dalam bukunya al-Futuh al-kabir wa al-riddah dan al-Jamal wal-masir Aishah wa Ali [Murtadha Askari, Abdullah ibn Saba' wa digar afsanehaye tarikhi, Tehran, 1360 H].
Sayf adalah seorang penulis yang tidak dipercayai oleh kebanyakan penulis-penulis rijal seperti Yahya ibn Mu'in (w233/847H), Abu Dawud (w275H/888M), al-Nasai (w303H/915M), Ibn Abi Hatim (w327H/938M), Ibn al-Sukn (w353H/964M), Ibn Hibban (w354H/965M), al-Daraqutni (w385H/995M), al-Hakim (w405H/1014M), al-Firuzabadi (w817H/1414M), Ibn Hajar (w852H/1448M), al-Suyuti (w911H/1505M, dan al-Safi al-Din (w923H/1517M).
Abdullah ibn Saba', kononnya seorang Yahudi yang memeluk Islam pada zaman Uthman, dikatakan seorang pengikut Ali yang setia. Dia mengembara dari satu tempat ke satu tempat untuk menghasut orang ramai supaya bangun memberontak menentang khalifah Uthman. Sayf dikatakan sebagai pengasas ajaran Sabaiyyah dan pengasas madzhab ghuluww (sesat). Menurut Allamah Askari watak Abdullah ibn Saba' ini adalah hasil rekaan Sayf yang juga telah mencipta beberapa watak, tempat, dan kota khayalan. Dari cerita Sayf inilah beberapa orang penulis telah mengambil cerita Abdullah ibn Saba' tersebut seperti Said ibn Abdullah ibn Abi Khalaf al-Ashari al-Qummi (w301H/913M) dalam bukunya al-Maqalat al-Firaq, al-Hasan ibn Musa al-Nawbakhti (w310H/922M) dalam bukunya Firaq al-Shiah, dan Ali ibn Ismail al-Ashari (w324H/935M) dalam bukunya Maqalat al-Islamiyyin.
Allamah al-Askari mengesan cerita Abdullah ibn Saba' dari riwayat syiah dari Rijal oleh al-Kashshi. Al-Kashshi telah meriwayatkan dari sumber Sa'd ibn Abdullah al-Ashari al-Qummi yang menyebut bahawa Abdullah ibn Saba' mempercayai kesucian Ali sehingga menganggapnya sebagai nabi. Mengikut dua riwayat ini, Ali AS memerintahkannya menyingkirkan fahaman tersebut, dan disebabkan keengganannya itu Abdullah ibn Saba telah dihukum bakar hidup-hidup (walau bagaimanapun menurut Sa'd ibn Abdullah Ali telah menghalau Ibn Saba' ke Madain dan di sana dia menetap sehingga Ali AS menemui kesyahidannya. Pada ketika ini Abdullah ibn Saba' mengatakan Ali AS tidak wafat sebaliknya akan kembali semula ke dunia). Al-Kashshi, selepas meriwayatkan lima riwayat yang berkaitan dengan Abdullah ibn Saba' menyatakan bahawa tokoh ini didakwa oleh golongan Sunni sebagai orang yang pertama yang mengisytiharkan Imamah Ali AS.
Allamah Askari menyatakan bahawa hukuman bakar hidup-hidup adalah satu perkara bida'ah yang bertentangan dengan hukum Islam sama ada dari madzhab Syi'ah atau Sunnah.
Kisah tersebut pula tidak pernah disebut oleh tokoh-tokoh sejarah yang masyhur seperti Ibn al-Khayyat, al-Yakubi, al-Tabari, al-Masudi, Ibn Al-Athir, ibn Kathir atau Ibn Khaldun. Peranan yang dimainkan oleh Abdullah ibn Sabak' sebelum berlakunya peristiwa pembunuhan Uthman atau pada zaman pemerintahan Imam Ali AS telah tidak disebut oleh penulis-penulis yang terawal seperti Ibn Sa'd (w230H/844M0, al-Baladhuri (w279H/892M) atau al-Yaqubi. Hanya al-Baladhuri yang sekali sehaja menyebut namanya dalam buku Ansab al-Ashraf ketika meriwayatkan peristiwa pada zaman Imam Ali AS berkata: " Hujr ibn Adi al-Kindi, Amr ibn al-Hamiq al-Khuzai, Hibah ibn Juwayn al-Bajli al-Arani, dan Abdullah ibn Wahab al-Hamdani - ibn Saba' datang kepada Imam Ali AS dan bertanya kepada Ali AS tentang Abu Bakr dan Umar..." Ibn Qutaybah (w276H/889M) dalam bukunya al-Imamah wal-Siyasah dan al-Thaqafi (w284H/897M) dalam al-Gharat telah menyatakan peristiwa tersebut. Ibn Qutaybah memberikan identiti orang ini sebagai Abdullah ibn Saba'.
Sa'd ibn Abdullah al-Ashari dalam bukunya al-Maqalat wal-Firaq menyebutkan namanya sebagai Abdullah ibn Saba' pengasas ajaran Saba'iyyah - sebagai Abdullah ibn Wahb al-Rasibi. Ibn Malukah (w474H/1082M) dalam bukunya Al-Ikmal dan al-Dhahabi (w748H/1347M) dalam bukunya al-Mushtabah ketika menerangkan perkataan 'Sabaiyyah ', menyebut Abdullah ibn Wahb al-Saba'i, sebagai pemimpin Khawarij. Ibn Hajar (w852H/1448M) dalam Tansir al-Mutanabbih menerangkan bahawa Saba'iyyah sebagai ' satu kumpulan Khawarij yang diketuai oleh Abdullah ibn Wahb al-Saba'i'. Al-Maqrizi (w848H/1444M) dalam bukunya al-Khitat menamakan tokoh khayalan Abdullah ibn Saba' ini sebagai 'Abdullah ibn Wahb ibn Saba', juga dikenali sebagai Ibn al-Sawda' al-Saba'i.'
Allamah Murtadha Askari telah mengesan dan membuktikan bahawa cerita Abdullah ibn Saba' yang terdapat dalam versi sunni adalah bersumberkan dari Al-Tabari (w.310H/922M), Ibn Asakir (w571H/1175M), Ibn Abi Bakr (w741H/1340M) dan al-Dhahabi (w747H/1346M). Mereka ini sebenarnya telah mengambil cerita Abdullah ibn Saba' dari satu sumber iaitu Sayf ibn Umar dalam bukunya al-Futuh al-kabir wa al-riddah dan al-Jamal wal-masir Aishah wa Ali [Murtadha Askari, Abdullah ibn Saba' wa digar afsanehaye tarikhi, Tehran, 1360 H].
Sayf adalah seorang penulis yang tidak dipercayai oleh kebanyakan penulis-penulis rijal seperti Yahya ibn Mu'in (w233/847H), Abu Dawud (w275H/888M), al-Nasai (w303H/915M), Ibn Abi Hatim (w327H/938M), Ibn al-Sukn (w353H/964M), Ibn Hibban (w354H/965M), al-Daraqutni (w385H/995M), al-Hakim (w405H/1014M), al-Firuzabadi (w817H/1414M), Ibn Hajar (w852H/1448M), al-Suyuti (w911H/1505M, dan al-Safi al-Din (w923H/1517M).
Abdullah ibn Saba', kononnya seorang Yahudi yang memeluk Islam pada zaman Uthman, dikatakan seorang pengikut Ali yang setia. Dia mengembara dari satu tempat ke satu tempat untuk menghasut orang ramai supaya bangun memberontak menentang khalifah Uthman. Sayf dikatakan sebagai pengasas ajaran Sabaiyyah dan pengasas madzhab ghuluww (sesat). Menurut Allamah Askari watak Abdullah ibn Saba' ini adalah hasil rekaan Sayf yang juga telah mencipta beberapa watak, tempat, dan kota khayalan. Dari cerita Sayf inilah beberapa orang penulis telah mengambil cerita Abdullah ibn Saba' tersebut seperti Said ibn Abdullah ibn Abi Khalaf al-Ashari al-Qummi (w301H/913M) dalam bukunya al-Maqalat al-Firaq, al-Hasan ibn Musa al-Nawbakhti (w310H/922M) dalam bukunya Firaq al-Shiah, dan Ali ibn Ismail al-Ashari (w324H/935M) dalam bukunya Maqalat al-Islamiyyin.
Allamah al-Askari mengesan cerita Abdullah ibn Saba' dari riwayat syiah dari Rijal oleh al-Kashshi. Al-Kashshi telah meriwayatkan dari sumber Sa'd ibn Abdullah al-Ashari al-Qummi yang menyebut bahawa Abdullah ibn Saba' mempercayai kesucian Ali sehingga menganggapnya sebagai nabi. Mengikut dua riwayat ini, Ali AS memerintahkannya menyingkirkan fahaman tersebut, dan disebabkan keengganannya itu Abdullah ibn Saba telah dihukum bakar hidup-hidup (walau bagaimanapun menurut Sa'd ibn Abdullah Ali telah menghalau Ibn Saba' ke Madain dan di sana dia menetap sehingga Ali AS menemui kesyahidannya. Pada ketika ini Abdullah ibn Saba' mengatakan Ali AS tidak wafat sebaliknya akan kembali semula ke dunia). Al-Kashshi, selepas meriwayatkan lima riwayat yang berkaitan dengan Abdullah ibn Saba' menyatakan bahawa tokoh ini didakwa oleh golongan Sunni sebagai orang yang pertama yang mengisytiharkan Imamah Ali AS.
Allamah Askari menyatakan bahawa hukuman bakar hidup-hidup adalah satu perkara bida'ah yang bertentangan dengan hukum Islam sama ada dari madzhab Syi'ah atau Sunnah.
Kisah tersebut pula tidak pernah disebut oleh tokoh-tokoh sejarah yang masyhur seperti Ibn al-Khayyat, al-Yakubi, al-Tabari, al-Masudi, Ibn Al-Athir, ibn Kathir atau Ibn Khaldun. Peranan yang dimainkan oleh Abdullah ibn Sabak' sebelum berlakunya peristiwa pembunuhan Uthman atau pada zaman pemerintahan Imam Ali AS telah tidak disebut oleh penulis-penulis yang terawal seperti Ibn Sa'd (w230H/844M0, al-Baladhuri (w279H/892M) atau al-Yaqubi. Hanya al-Baladhuri yang sekali sehaja menyebut namanya dalam buku Ansab al-Ashraf ketika meriwayatkan peristiwa pada zaman Imam Ali AS berkata: " Hujr ibn Adi al-Kindi, Amr ibn al-Hamiq al-Khuzai, Hibah ibn Juwayn al-Bajli al-Arani, dan Abdullah ibn Wahab al-Hamdani - ibn Saba' datang kepada Imam Ali AS dan bertanya kepada Ali AS tentang Abu Bakr dan Umar..." Ibn Qutaybah (w276H/889M) dalam bukunya al-Imamah wal-Siyasah dan al-Thaqafi (w284H/897M) dalam al-Gharat telah menyatakan peristiwa tersebut.
Ibn Qutaybah memberikan identiti orang ini sebagai Abdullah ibn Saba'. Sa'd ibn Abdullah al-Ashari dalam bukunya al-Maqalat wal-Firaq menyebutkan namanya sebagai Abdullah ibn Saba' pengasas ajaran Saba'iyyah - sebagai Abdullah ibn Wahb al-Rasibi. Ibn Malukah (w474H/1082M) dalam bukunya Al-Ikmal dan al-Dhahabi (w748H/1347M) dalam bukunya al-Mushtabah ketika menerangkan perkataan 'Sabaiyyah ', menyebut Abdullah ibn Wahb al-Saba'i, sebagai pemimpin Khawarij. Ibn Hajar (w852H/1448M) dalam Tansir al-Mutanabbih menerangkan bahawa Saba'iyyah sebagai ' satu kumpulan Khawarij yang diketuai oleh Abdullah ibn Wahb al-Saba'i'. Al-Maqrizi (w848H/1444M) dalam bukunya al-Khitat menamakan tokoh khayalan Abdullah ibn Saba' ini sebagai 'Abdullah ibn Wahb ibn Saba', juga dikenali sebagai Ibn al-Sawda' al-Saba'i.'
Allamah Askari mengemukakan rasa kehairannya bahawa tidak seorang pun daripada para penulis tokoh Abdullah ibn Saba' ini menyertakan nasabnya - satu perkara yang agak ganjil bagi seorang Arab yang pada zamannya memainkan peranan yang penting. Penulis sejarah Arab tidak pernah gagal menyebutkan nasab bagi kabilah-kabilah Arab yang terkemuka pada zaman awal Islam tetapi dalam kisah Abdullah ibn Saba' , yang dikatakan berasal dari San'a Yaman, tidak dinyatakan kabilahnya.
Allamah Askari yakin bahawa Ibn Saba' dan golongan Sabai'yyah adalah satu cerita khayalan dari Sayf ibn Umar yang ternyata turut menulis cerita-cerita khayalan lain dalam bukunya. Walau bagaimanapun, nama Abdullah ibn Wahb ibn Rasib ibn Malik ibn Midan ibn Malik ibn Nasr al-Azd ibn Ghawth ibn Nubatah in Malik ibn Zayd ibn Kahlan ibn Saba', seorang Rasibi, Azdi dan Saba'i adalah pemimpin Khawarij yang terbunuh dalam Peperangan Nahrawan ketika menentang Imam Ali AS.
Nampaknya kisah tokoh Khawarij ini telah diambil oleh penulis kisah khayalan itu untuk melukiskan watak khayalan yang menjadi orang pertama mengiystiharkan Imamah Ali AS. Watak ini tiba-tiba muncul untuk memimpin pemberontakan terhadap khalifah Uthman, menjadi dalang mencetuskan Perang Jamal, mengisytiharkan kesucian Ali AS, kemudian dibakar hidup-hidup oleh Ali AS atau dihalau oleh Ali AS dan tinggal dalam buangan seterusnya selepas kewafatan Imam Ali AS, mengisytiharkan kesucian Ali AS dan Ali akan hidup kembali dan orang yang pertama bercakap dengan lantang tentang musuh-musuh Ali AS.
Menurut Allamah Askari, perkataan Saba'iyyah adalah berasal-usul sebagai satu istilah umum untuk kabilah dari bahagian selatan Semenanjung Tanah Arab iaitu Bani Qahtan dari Yaman. Kemudian disebabkan banyak daripada pengikut-pengikut Imam Ali bin Abi Talib AS berasal dari Yaman seperti Ammar ibn Yasir, Malik al-Ashtar, Kumayl ibn Ziyad, Hujr ibn Adi, Adi ibn Hatim, Qays ibn Sa'd ibn Ubadah, Khuzaymah ibn Thabit, Sahl ibn Hunayf, Uthman ibn Hunayf, Amr ibn Hamiq, Sulayman ibn Surad, Abdullah Badil, maka istilah tersebut ditujukan kepada para penyokong Ali AS ini. justeru, Ziyad ibn Abihi pada suatu ketika mendakwa Hujr dan teman-temannya sebagai 'Saba'iyyah.' Dengan bertukarnya maksud istilah, maka istilah itu juga turut ditujukan kepada Mukhtar dan penyokong-penyokongnya yang juga terdiri daripada puak-puak yang berasal dari Yaman. Selepas kejatuhan Bani Umayyah. istilah Saba'iyyah telah disebut dalam ucapan Abu al-Abbas Al-Saffah, khalifah pertama Bani Abbasiyyah, ditujukan kepada golongan Syi'ah yang mempersoalkan hak Bani Abbas sebagai khalifah.
Walau bagaimanapun Ziyad mahupun Al-Saffah tidak mengaitkan Saba'iyyah sebagai golongan yang sesat. Malahan Ziyad gagal mendakwa bahawa Hujr bin Adi dan teman-temannya sebagai golongan sesat. Istilah Saba'iyyah diberikan maksudnya yang baru oleh Sayf ibn Umar pada pertengahan kedua tahun Hijrah yang menggunakannya untuk ditujukan kepada golongan sesat yang kononnya diasaskan oleh tokoh khayalan Abdullah ibn Saba'.

==============================

Written by Abu Ashbal
Monday, 24 December 2007
Kesucian dan Kemuliaan Ahlul Bayt AS Dalam Hadith al-Kisa



Kemasyhuran hadith ini telah diketahui umum dan tiada seorang pun yang boleh menafikan kepentingan dan ketulenannya.Ayat al-Qur'an Surah 33:33, yang bermaksud:
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan kalian daripada kekotoran (rijsa) ,wahai Ahlul Bayt dan menyucikan kamu sebersih-bersihnya."
Ayat di atas di wahyukan untuk menunjukkan kemuliaan dan kesucian Ahlul Bayt AS. Ayat al-Qur'an ini dikenali sebagai ayat al-Tathir dan menjadi asas kepada hadith al-Kisa yang menceritakan tentang Ahlul Bayt AS.
Di waktu ayat tersebut diwahyukan, Rasulullah SAWA menghimpunkan anak perempuan beliau Fatimah AS, anak-anaknya Fatimah iaitu Hasan Husayn, juga suami Fatimah, Ali AS. Rasulullah SAWA menyelimuti mereka termasuk diri baginda sendiri di dalam sehelai selimut dan memohon ke hadrat Allah SWT dengan sabdanya yang bermaksud:
"Ya Allah mereka inilah Ahlul Baytku."(Allahumma haula'i Ahl Bayti, ha'ula'i Itrati) Peliharalah mereka dari sebarang keburukan dan sucikanlah mereka dengan sesuci-sucinya."
Ummu Salamah, isteri Rasulullah SAWA yang berada di dalam rumah pada masa itu menyaksikan sendiri kejadian yang sungguh menakjubkan itu, dan dengan perasaan rendah hati memohon kepada Rasulullah SAWA:"Ya Rasulullah! Bolehkh aku turut bersama-sama mereka?" Rasulullah SAWA menjawab:"Tidak, tetaplah kamu di tempat kamu berada!"
Rasulullah SAWA bersabda yang bermaksud:"Perumpamaan Ahlul Baytku adalah seperti Bahtera Nabi Nuh AS. Barang siapa yang menaikinya akan selamat dan barang siapa yang menyisihkan diri dari mereka akan tenggelam."
Ahlul Bayt AS menikmati kedudukan yang tinggi dan mulia dengan perintah Allah SWT, yang dapat dilihat menerusi ayat al-Qur'an, yang bermaksud:
"Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang di dalam kekerabatan."
Maksud ayat ini dengan jelas menunjukkan bahawa Rasulullah SAWA diperintahkan oleh Allah SWT untuk meminta orang-orang yang beriman supaya mencintai keturunannya iaitu Ahlul Bayt AS. Inilah balasan (upah) yang diminta oleh Rasulullah SAWA dari pengikut-pengikut beliau SAWA di atas seruan yang disampaikan kepada mereka di sepanjang hayatnya.
Rasulullah SAWA bersabda, yang bermaksud:
"Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang paling berharga (al-Thaqalain), Kitab Allah dan Itrahku. Kamu tidak akan sesat selepasku sekiranya kalian mentaati kedua-duanya, dan kedua-duanya tidak akan terpisah sehingga mereka menemuiku di telaga al-Haud (di syurga)."
Setiap orang harus membaca hadith ini dengan perasaan penuh khusyuk, ikhlas dan taat, da sebelum ataupun selepas membacanya mereka terlebih dahulu hendaklah berselawat ke atas Nabi Muhammad SAWA dan Ahlul Baytnya sebanyak 3 kali.
Setiap orang haruslah membaca hadith ini seberapa kerap yang boleh, khususnya pada malam Jumaat atau pada hari Jumaat. Insya Allah dengan berkat Ahlul Bayt AS, doa seseorang akan dimakbulkan Allah SWT. Terdapat banyak manfaat kepada seseorang yang membacanya, dan sekiranya selalu diulangi, semua keinginan ruhaniahnya akan dikabulkan oleh Allah SWT menerusi keberkatan Ahlul Bayt AS. Insya Allah.
Di bawah ini disebutkan beberapa ulama dan ahli tafsir yang telah meriwayatkan hadith tersebut melalui berbagai sumber. Semua riwayat tersebut saling berhubungan di dalam bentuk yang berbeza-beza dan berikut adalah sebahagian daripadanya:
1. Muslim, Sahih, Kitab Fadail al-Sahabah, Bab Fadail Ahl Bayt al-Nabi, Jilid VII, hlm.130.
2. Ahmad bin Hanbal, Musnad, Jilid I, hlm.331; Jilid III, hlm.151-259 dan 285, Jilid IV, hlm.5 dan 107; Jilid VI, hlm. 292, 296, 298, 304, dan 322.
3. Al-Tirmidzi, Sahih, K-44, Surah H-7, K-46, B-31 dan 60.
4. Jalal al-Din al-Suyuti, al-Durr al-Manthur, Jilid V, hlm. 198-199
5. Syaikh Abd. al-Haq Muhaddith Dehlavi, Asya'atal al-Lamaat, Jilid IV, hlm.278-379.
6. Abu Dawud al-Tayalisi, Musnad, Jilid VIII, hlm.474, hadith 2055.
7. Ibn Hajar al-Makki, Al-Sawa'iq al-Muhriqah di bawah tajuk Barahin Qat'iah.

Berikut ialah hadith yang dipetik dari manuskrip Awalim al-Ulum, Syaikah Abdullah bin Nur Allah al-Bahraini, yang menceritakannya menerusi riwayat yang tepat dari Jabir bin Abdullah Ansari yang merupakan salah seorang sahabat Rasul SAWA yang terkemuka.
Sayyidatina Fatimah AS, seorang wanita yang dipenuhi Nur, menceritakan kejadian yang berkaitan dengan ayat al-Tathir seperti berikut:
"Pada suatu hari, ayahku,Rasulullah SAWA datang kepadaku dan berkata:"Salam sejahtera ke atas kamu Wahai FAtimah! dan aku membalas:"Salam sejahtera ke atas kamu, wahai ayahku."
Kemudian beliau SAWA bersabda:"Tubuh badanku terasa lemah hari ini," dan aku berkata:"Semoga Allah memeliharamu dari kelemahan-kelemahan itu."
Beliau SAWA berkata:"Bawakan kain selimut Yamani kapadaku dan tolong selimutkan daku."
Aku pun membawakan kain selimut Yamani dan menyelimutkan beliau dengan selimut tadi. Wajahnya kelihatan tampak bercahaya seperti bulan mengambang penuh.
Selepas beberapa ketika, anakku Hasan datang dan memberikan salamnya kepadaku, lalu aku membalasnya.
Sebentar kemudian, Hasan berkata:"Wahai ibuku! Aku mencium wangian yang sungguh istimewa sama seperti wangian datukku, Rasulullah."
Justeru, aku menjawab:"Memang benar, datukmu sedang berehat di dalam selimut itu.
Ketika itu, Hasan terus pergi berdiri berhampiran selimut tadi dan memberikan salam kepada Rasulullah lalu beliau menjawab salamnya itu.
Kemudian Hasan bertanya:"Bolehkah saya diizinkan untuk berada di dalam selimut ini?Rasulullah SAWA menjawab:"Silakan," lalu Hasan turut bersama berada di dalam selimut itu bersama-sama Rasulullah SAWA.
Selang beberapa ketika, Husayn pula datang dan bertukar-tukar salam denganku sambil mengatakan:"Wahai ibuku!Aku tercium bau wangian seperti yang didapati pada datukku, Rasulullah. Aku lalu menjawab:"Benar wahai anakku, datukmu sedang berehat di dalam selimut bersama dengan saudaramu." Husayn lalu mendekati selimut tadi dan dengan hormat memberikan salamnya kepada Rasulullah SAWA.
Husayn berkata:"Bolehkan izinkan saya turut sama di dalam selimut ini bersama-samamu? Rasulullah SAWA membalas:"Silakan, buah hatiku."Lalu Husayn turut serta berada di dalam selimut tersebut.
Tidak berapa lama kemudian, Amirul Mukminin, Ali bin Abi Talib berkata kepadaku:"Salam sejahtera ke atasmu, wahai Fatimah," aku lalu menjawab:"Salam sejahtera juga atasmu, wahai Abul Hasan, wahai Amirul Mukminin." Apa halnya yang menyebabkan aku menciumi bau haruman Rasulullah? Aku membalas:"Memang benar, sepupumu itu sedang berehat bersama-sama dengan dua orang anakmu di dalam selimut itu."
Justeru, Ali melangkah ke arah selimut tadi dan berkata:"Salam sejahtera ke atasmu, wahai Rasulullah." Lalu beliau SAWA menjawab:"Salam sejahtera ke atasmu,wahai pemegang panji-panji Islam dan Amirul Mukminin."
Sejurus kemudian, Ali berkata:"Bolehkan izinkan aku turut serta dalam selimat ini? Rasulullah SAWA mengizinkannya. Justeru, Ali juga turut bersama-sama dengan mereka di dalam selimut tadi.
Selepas beberapa ketika, aku menghampiri selimut tersebut sambil memberikan salam kepada ayahku dan beliau SAWA membalas salamku. Kemudian aku bertanya, "Wahai Rasulullah, adakah aku dibenarkan untuk bersamamu berada di dalam selimut ini? Ayahku, Rasulullah lalu membalas:" Sudah tentu, wahai insan tersayang, dan cahaya mataku. Kamu juga diizinkan. Justeru, aku dapat bersama-sama mereka berada di dalam selimut itu.
Kini, apabila kami semua berada bersama-sama dalam kain selimut itu, Rasulullah memegang hujung selimut tadi sambil berdoa kepada Allah:" Ya Allah, mereka ini adalah Ahlul Baytku. Mereka adalah orang-orang yang paling hampir dan paling aku cintai dari darah dan dagingku sendiri. Engkau tunjukkanlah kepadaku dan juga kepada mereka keberkatan, rahmat, dan sucikanlah mereka ini dengan sesuci-sucinya.
Allah SWT lalu memerintahkan para malaikat dengan firmanNya yang bermaksud:
"Wahai para malaikat, dan wahai semua penghuni alam dan syurga, saksikanlah Aku tidak menciptakan syurga yang menjulang tinggi, bumi yang terhampar, matahari yang bersinar, bulan yang bercahaya, langit yang berpusing-pusing, lautan yang berombak-ombak dan kapal-kapal yang belayar, semua itu hanyalah kerana cinta dan kasih sayang kepada lima orang yang berada bersama-sama di dalam selimut tadi."

Malaikat Jibril bertanya:"Ya Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Mengetahui, siapakah orang-orang yang berada di dalam selimut itu?"
Allah SWT menjawab dengan berkata:"Mereka adalah Ahlul Bayt kenabian dan pemegang amanah kerasulanKu, mereka adalah terdiri daripada Fatimah, bapanya, suaminya dan anak-anaknya."
Ketika itu,malaikat Jibril memohon:"Ya Allah, adakah Engkau membenarkan aku turun ke bumi dan menjadi orang yang keenam di antara mereka? Allah SWT menjawab:"Ya Aku benarkan."Malaikat Jibril lalu turun dari syurga ke bumi dan berkata:"Salam sejahtera ke atasmu wahai Rasulullah!"
"Ketahuilah, Allah mengutuskan selawat dan salamNya ke atasmu, dan berkata:"Sesungguhnya Aku tidak menciptakan syurga yang menjulang tinggi, bumi yang terhampar, matahari yang bersinar, bulan yang bercahaya, langit yang berpusing-pusing, lautan yang berombak-ombak dan kapal-kapal yang belayar, melainkan semuanya itu keranamu dan kerana mencintaimu,dan ketahuilah, Dia telah membenarkan daku turut bersama-sama denganmu. Oleh yang demikian, bolehkan izinkan daku untuk bersama-samamu, wahai Rasulullah?"
Rasulullah SAWA menjawab:"Salam sejahtera ke atas engkau,wahai pemegang amanah wahyu Ilahi. Aku benarkan, silakanlah!"
Oleh itu, malaikat Jibril turut serta dalam selimut itu dan ia kemudian berkata kepada ayahku:"Allah SWT mewahyukan kepadamu ayat al-Qur'an yang bermaksud:
"Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa-dosa dari kalian, wahai Ahlul Bayt, dan menyucikan kalian sebersih-bersihnya." (Al-Ahzab (33):33)
Selepas dari itu, Ali bertanyakan kepada Rasulullah:
"Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepada kami tentang kelebihan-kelebihan kami yang termasuk dalam hadith Kisa dan keutamaan yang dilimpahkan oleh Allah: Nabi bersabda:" Wahai Ali, demi Allah yang telah melantik aku sebagai RasulNya, dan mengutamakanku dengan menjadikanku sebagai NabiNya, bila-bila sahaja peristiwa ini diceritakan di dalam perhimpunan manusia di bumi yang dihadiri oleh pengikut dan orang-orang yang mentaati kami, Allah akan mengurniakan keberkatanNya kepada mereka, dan para malaikat akan turun dan berdoa memohon keampunan mereka sehinggalah mereka bersurai."
Ali AS menyatakan:"Ini menunjukkan kejayaan kita dan pengikut-pengikut kita dijamin oleh Allah SWT."
Sekali lagi Rasulullah SAWA bersabda:" Bila-bila sahaja peristiwa tersebut diceritakan di dalam mana-mana perhimpunan manusia di bumi yang dihadiri oleh pengikut dan orang yang mentaati kita, sekiranya di sana terdapat sesiapa sahaja yang tidak berasa gembira, Allah akan menjadikan mereka gembira dan sekiranya di sana terdapat orang yang berdoa, Allah akn kabulkan doanya, dan tiada seorang pun akan berasa dukacita kerana Allah akan membuang perasaan dukacita dari mereka.
Lantaran itu Ali AS menyatakan:
"Kejayaan dan kebahagiaan kita dan pengikut-pengikut kita telah dijamin untuk selama-lamanya oleh Allah SWT, Tuhan Rabbil Ka'bah."


=============================

Written by Abu Ashbal
Sunday, 09 December 2007
Aliran-aliran Cabang dalam Syi’ah


Setiap mazhab memiliki ajaran-ajaran pokok sebagai pondasi mazhab tersebut. Dengan bergulirnya masa, akan ditemukan beberapa ajaran baru yang berbeda dengan dengan ajaran-ajaran tersebut dari segi kurus dan gemuknya. Sebagai contoh, satu mazhab meyakini bahwa harus ada sistem imamah yang ditentukan oleh pembawa Syari’at sebagai penerus keberlangsungan dakwah Rasulullah SAWW. Ini adalah sebuah ajaran pokok yang harus dimiliki oleh mazhabnya. Akan tetapi, kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat di antara para pemeluknya dalam menentukan siapakah yang berhak menjadi imam sebagai penerusnya. Dengan demikian, akan muncul aliran baru yang merupakan cabang dari mazhab itu. Mayoritas agama langit seperti agama Yahudi, Kristen, Majusi dan Islam mengalami realita tersebut di atas.
Mazhab Syi’ah pun tidak terkecualikan dari realita ini. Pada masa hidupnya Imam Ali a.s., Imam Hasan a.s. dan Imam Husein a.s. tidak terjadi perpecahan dalam tubuh mazhab Syi’ah. Setelah Imam Husein a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah menjadikan Imam Ali As-Sajjad a.s. sebagai imam keempat dan kelompok minoritas yang dikenal dengan sebutan “Kaisaniyah” menjadikan putra ketiga Imam Ali a.s. yang bernama Muhammad bin Hanafiah sebagai imam keempat dan mereka meyakini bahwa ia adalah Imam Mahdi a.s. yang ghaib di gunung Ridhawi. Di akhir zaman ia akan muncul kembali.
Setelah Imam Sajjad a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah mengakui Imam Baqir a.s., putranya sebagai imam Syi’ah dan kelompok minoritas meyakini Zaid, putranya yang lain sebagai penggantinya. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama Syi’ah Zaidiyah.
Pasca syahadah Imam Baqir a.s., para pengikut Syi’ah menjadikan Imam Ja’far Ash-Shadiq a.s., putranya sebagai imam keenam Syi’ah. Dan setelah Imam Shadiq a.s. syahid, para pengikut Syi’ah terpecah menjadi lima golongan:
a. Mayoritas pengikut Syi’ah yang meyakini Imam Musa Al-Kazhim a.s., putranya sebagai imam Syi’ah yang ketujuh.
b. Kelompok kedua menjadikan putra sulungnya yang bernama Ismail sebagai imam Syi’ah yang ketujuh. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Ismailiyah”.
c. Kelompok ketiga menjadikan putranya yang bernama Abdullah Al-Afthah sebagai imam Syi’ah yang ketujuh. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Fathahiyah”.
d. Kelompok keempat menjadikan putranya yang bernama Muhammad sebagai imam Syi’ah yang ketujuh.
e. Kelompok kelima menganggap bahwa Imam Shadiq a.s. adalah imam Syi’ah terakhir dan tidak ada imam lagi sepeningalnya.
Setelah Imam Musa Al-Kazhim a.s. syahid, mayoritas pengikut Syi’ah meyakini Imam Ridha a.s., putranya sebagai imam Syi’ah yang kedelapan dan kelompok minoritas dari mereka mengingkari imamahnya dan menjadikan Imam Kazhim a.s. sebagai imam Syi’ah terakhir. Kelompok ini akhirnya dikenal dengan nama “Syi’ah Waqifiyah”.
Setelah Imam Ridha a.s. syahid hingga lahirnya Imam Mahdi a.s., di dalam tubuh Syi’ah tidak terjadi perpecahan yang berarti. Jika terjadi perpecahan pun, itu hanya berlangsung beberapa hari dan setelah itu sirna dengan sendirinya. Seperti peristiwa Ja’far bin Imam Ali Al-Hadi a.s., saudara Imam Hasan Al-Askari a.s. yang mengaku dirinya sebagai imam Syi’ah setelah saudaranya syahid.
Semua kelompok dan aliran cabang di atas telah sirna dengan bergulirnya masa kecuali tiga aliran yang hingga sekarang masih memiliki pengikut yang tidak sedikit. Tiga aliran Syi’ah tersebut adalah Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah dan Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah.
a.Syi’ah Zaidiyah
Zaidiyah adalah para pengikut Zaid bin Ali As-Sajjad a.s. Pada tahun 121 H., ia mengadakan pemberontakan terhadap Hisyam bin Abdul Malik, salah seorang khalifah dinasti Bani Umaiyah. Sebagian masyarakat berbai’at dengannya dan ketika terjadi peperangan di Kufah antara kelompoknya dan tentara penguasa, ia syahid. Ia dianggap sebagai imam Syi’ah yang kelima oleh para pengikutnya. Setelah ia syahid, putranya yang bernama Yahya menggantikan keududukannya. Yahya sempat mengadakan pemberontakan terhadap Walid bin Yazid. Setelah ia meninggal dunia, Muhammad bin Abdullah dan Ibrahim bin Abdullah menggantikan kedudukannya sebagai imam Syi’ah. Mereka sempat mengadakan pemberontakan terhadap Manshur Dawaniqi, salah seorang khalifah dinasti Bani Abasiyah dan terbunuh dalam sebuah peperangan.
Setelah mereka terbunuh, Zaidiyah menjalani masa-masa kritis yang hampir menyebabkan kelompok ini punah. Pada tahun 250-320 H., Nashir Uthrush, salah seorang anak cucu saudara Zaid bin Ali, mengadakan pemberontakan terhadap penguasa Khurasan. Karena dikejar-kejar oleh pihak penguasa yang berusaha untuk membunuhnya, ia melarikan diri ke Mazandaran yang hingga saat itu penduduknya belum memeluk agama Islam. Setelah 13 tahun bertabligh, ia akhirnya dapat mengislamkan mayoritas penduduk Mazandaran dan menjadikan mereka penganut mazhab Syi’ah Zaidiyah. Dengan bantuan mereka, ia dapat menaklukkan Thabaristan dan daerah itu menjadi pusat bagi kegiatan Syi’ah Zaidiyah.
Menurut keyakinan mazhab Zaidiyah, setiap orang yang berasal dari keturunan Fathimah Az-Zahra` a.s., alim, zahid, dermawan dan pemberani untuk menentang segala manifetasi kelaliman, bisa menjadi imam. Syi’ah Zaidiyah menggabungkan dua ajaran dalam mazhabnya. Dalam bidang ushuluddin ia menganut paham Mu’tazilah dan dalam bidang furu’uddin ia menganut paham Hanafiah.
b.Syi’ah Ismailiyah dan Aliran-aliran Cabangnya
 Bathiniyah
Imam Shadiq a.s. mempunyai seorang putra sulung yang bernama Ismail. Ia meninggal dunia ketika ayahnya masih hidup. Imam Shadiq a.s. mempersaksikan kepada seluruh khalayak bahwa putranya yang bernama Islma’il telah meninggal dunia. Ia pun telah mengundang gubernur Madinah kala itu untuk menjadi saksi bahwa putranya itu telah meninggal dunia. Meskipun demikian, sebagian orang meyakini bahwa ia tidak meninggal dunia. Ia ghaib dan akan muncul kembali. Ia adalah Imam Mahdi a.s. yang sedang dinanti-nantikan kedatangannya. Mereka meyakini bahwa persaksian Imam Shadiq a.s. di atas hanyalah sebuah taktik yang dilakukannya untuk mengelabuhi Manshur Dawaniqi karena khawatir ia akan membunuhnya.
Sebagian kelompok meyakini bahwa imamah adalah hak mutlak Ismail yang setelah kematiannya, hak itu berpindah kepada putranya yang bernama Muhammad. Akan tetapi, sebagian kelompok yang lain meyakini bahwa meskipun Ismail telah meninggal dunia ketika ayahnya hidup, ia adalah imam yang harus ditaati. Setelah masanya berlalu, imamah itu berpindah kepada putranya yang bernama Muhammad bin Ismail dan akan diteruskan oleh para anak cucunya.
Dua kelompok pertama telah punah ditelan masa. Kelompok ketiga hingga sekarang masih memiliki pengikut dan mengalami perpecahan internal juga.
Secara global, Ismailiyah memiliki ajaran-ajaran filsafat yang mirip dengan filsafat para penyembah bintang dan dicampuri oleh ajaran irfan India. Mereka meyakini bahwa setiap hukum Islam memiliki sisi lahiriah dan sisi batiniah. Sisi lahiriah hukum hanya dikhususkan bagi orang-orang awam yang belum berhasil sampai kepada strata spiritual yang tinggi. Oleh karena itu, mereka harus melaksanakan hukum tersebut dengan praktik rutin sehari-hari.
Mereka juga meyakini bahwa hujjah Allah ada dua macam: nathiq (berbicara) dan shaamit (diam). Hujjah yang pertama adalah Rasulullah SAWW dan hujjah yang kedua adalah imam sebagai washinya.
Bumi ini tidak akan pernah kosong dari hujjah Allah, dan hujjah tersebut selalu berjumlah 7 orang. Ketika seorang nabi diutus, ia akan memiliki syari’at dan wilayah. Setelah ia meninggal dunia, tujuh washi datang silih berganti untuk meneruskan ajarannya. Ketujuh washi tersebut memiliki kedudukan yang sama, yaitu kewashian kecuali washi terakhir. Ia memiliki tiga kedudukan sekaligus: kenabian, kewashian dan wilayah. Dan begitulah seterusnya, setelah washi ketujuh meninggal dunia, ia akan memiliki tujuh orang washi dan washinya yang ketujuh memiliki tiga kedudukan di atas sekaligus.
Menurut keyakinan mereka, Nabi Adam a.s. diutus dengan mengemban kenabian dan wilayah. Setelah meninggal dunia, ia memiliki tujuh orang washi. Washinya yang ketujuh adalah Nabi Nuh a.s. yang memiliki kedudukan kenabian, kewashian dan wilayah. Nabi Ibrahim a.s. adalah washi ketujuh Nabi Nuh a.s., Nabi Musa a.s. adalah washi ketujuh Nabi Ibrahim a.s., Nabi Isa a.s. adalah washi ketujuh Nabi Musa a.s., Muhammad bin Ismail adalah washi ketujuh Rasulullah SAWW (Imam Ali a.s., Imam Husein a.s., Imam Sajjad a.s., Imam Baqir a.s., Imam Shadiq a.s., Ismail dan Muhammad bin Ismail). Setelah Muhammad bin Ismail, terdapat tujuh orang washi yang nama dan identitas mereka tidak diketahui oleh siapa pun. Dan setelah masa tujuh orang washi tak dikenal itu berlalu, terdapat tujuh orang washi lagi. Mereka adalah tujuh raja pertama dinasti Fathimiyah di Mesir. Raja pertama adalah Ubaidillah Al-Mahdi.
Mereka juga meyakini bahwa di samping hujjah-hujjah Allah tersebut, terdapat dua belas orang nuqaba`. Mereka adalah para sahabat pilihan hujjah-hujjah Allah tersebut. Akan tetapi, sebagian aliran cabang Ismailiyah yang bernama Bathiniyah (Duruziyah) meyakini bahwa enam orang dari dua belas nuqaba` tersebut adalah para imam dan enam yang lainnya adalah selain imam.
Pada tahun 278 H., beberapa tahun sebelum Ubaidillah Al-Mahdi berkuasa di benua Afrika, seorang misterius yang berasal dari Khuzestan, Iran dan tidak pernah menyebutkan identitas dirinya muncul di Kufah. Di siang hari ia selalu berpuasa dan di malam hari ia selalu beribadah. Ia tidak pernah meminta bantuan dari orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia mengajak masyarakat setempat untuk menganut mazhab Ismailiyah dan mereka menjawab ajakannya. Kemudian ia memilih dua belas orang di antara pengikutnya sebagai nuqaba`. Setelah itu, ia keluar dari Kufah untuk menuju ke Syam dan tidak lama kemudian ia menghilang.
Setelah orang tak dikenal itu menghilang, ada seseorang yang bernama Ahmad dan dikenal dengan julukan Qirmith menggantikan kedudukannya untuk menyebarkan ajaran-ajaran Bathiniyah. Para sejarawan mengatakan bahwa ia menciptakan shalat baru sebagai ganti dari shalat lima waktu yang telah ditetapkan oleh Islam, menghapus mandi jenabah dan menghalalkan khamer. Para pemimpin Bathiniyah mengajak masyarakat untuk memberontak terhadap para penguasa waktu itu.
Para pengikut Bathiniyah ini menganggap halal darah orang-orang yang tidak mengikuti ajaran Bathiniyah. Atas dasar keyakinan ini, mereka pernah mengadakan pembunuhan dan perampokan besar-besaran di Irak, Bahrain, Yaman dan kota-kota sekitar. Sering kali mereka merampok kafilah haji yang sedang menuju Makkah dan membunuh semua orang yang ada di kafilah tersebut.
Abu Thahir Al-Qirmithi, salah seorang pemimpin Bathiniyah menaklukkan Bashrah pada tahun 311 H. dan ia membunuh penduduk secara besar-besaran serta merampok semua harta yang mereka miliki. Pada tahun 317 H., ia bersama para pengikut Bathiniyah pergi ke Makkah dan setelah terjadi pertempuran kecil antara mereka dan pasukan keamanan pemerintahan setempat, mereka dapat mengalahkan pasukan tersebut dan berhasil memasuki kota suci Makkah. Begitu memasuki kota Makkah, semua jenis pembunuhan dan perampokan mereka lakukan. Masjidil Haram pun sudah tidak memiliki arti bagi mereka. Dari dalam masjid suci tersebut darah mengalir bak air mengalir di dalam parit. Kain penutup Ka’bah mereka robek-robek dan dibagikan di antara mereka sendiri. Tidak hanya sampai di situ, pintu Ka’bah mereka hancurkan dan Hajar Aswad mereka bawa ke Yaman. Hajar Aswad berada di tangan Qaramithah selama 22 tahun.
Karena perilaku mereka yang asusila dan menentang agama, mayoritas pengikut Bathiniyah yang lain menganggap kelompok ini telah keluar dari agama Islam. Ubaidillah Al-Mahdi sendiri yang waktu itu adalah khalifah pertama dinasti Fathimiyah di Mesir, pemimpin mazhab Ismailiyah dan menganggap dirinya adalah Imam Mahdi a.s. yang telah dijanjikan oleh hadis-hadis mutawatir, menyatakan tidak ikut campur tangan berkenaan dengan mazhab Qaramithah.
 Nazzariyah dan Musta’liyah
Ubaidillah Al-Mahdi berkuasa di benua Afrika (tepatnya di Mesir) pada tahun 296 H. dan ia adalah pendiri dinasti Fathimiyah. Mazhab yang dianutnya adalah Syi’ah Ismailiyah. Setelah ia meninggal dunia, tujuh orang dari keturunannya meneruskan dinastinya tanpa terjadi perpecahan di dalam tubuh mazhab Ismailiyah. Perpecahan di dalam tubuh mazhab Ismailiyah terjadi setelah raja ketujuh dinasti Fathimiyah, Mustanshir Billah Sa’d bin Ali meninggal dunia. Ia memiliki dua orang putra yang masing-masing bernama Nazzar dan Musta’li. Setelah ayah mereka meninggal dunia, terjadi persengketaan di antara kakak dan adik tersebut berkenaan dengan urusan khilafah. Setelah terjadi peperangan di antara mereka yang memakan banyak korban, Musta’li dapat mengalahkan Nazzar. Ia mengangkap Nazzar dan menghukumnya hingga ajal menjemputnya.
Setelah persengketaan tersebut, dinasti Fathimiyah yang bermazhab Ismailiyah terpecah menjadi dua golongan: Nazzariyah dann Musta’liyah.
Nazzariyahadalah para pengikut Hasan Ash-Shabaah, seseorang yang pernah memiliki hubungan dekat dengan Mustanshir Billah. Setelah Mustanshir Billah meninggal dunia, ia diusir dari Mesir oleh Musta’li karena dukungannya terhadap Nazzar. Ia lari ke Iran, dan akhirnya muncul di benteng “Al-Maut” yang berada di sebuah daerah dekat kota Qazvin. Ia berhasil menaklukkan benteng tersebut dan benteng-benteng yang berada di sekitarnya. Kemudian, ia memerintah di situ. Sejak pertama kali memerintah, ia mengajak penduduk sekitar untuk menghidupkan kembali nama baik Nazzar dan mengikuti ajaran-ajarannya.

Setelah Hasan Ash-Shabaah meninggal dunia pada tahun 518 H., Buzurg Oumid Rudbari menggantikan kedudukannya dan setalah ia meninggal dunia, putranya yang bernama Kiyaa Muhammad mengganti kedudukannya. Keduanya memerintah dengan mengikuti cara dan metode Hasan Ash-Shabaah. Sepeninggal Kiyaa Muhammad, putranya yang bernama Hasan Ali Dzikruhus Salam menggantikan kedudukannya. Ia menghapus semua cara dan ajaran Hasan Ash-Shabaah dan mengikuti ajaran-ajaran aliran Bathiniyah.
Hal ini terus berjalan lancar hingga Holaku Khan dari dinasti Mongol menyerang Iran. Ia berhasil menguasai semua benteng pertahanan mazhab Ismailiyah dan menyamaratakannya dengan tanah. Setelah peristiwa itu berlalu, Aqa Khan Mahallati yang bermazhab Nazzariyah memberontak terhadap Qajar Syah. Di sebuah pertempuran yang terjadi di Kerman, ia kalah dan melarikan diri ke Bombay, India. Setelah sampai di Bombay, ia mulai menyebarkan ajaran-ajaran Nazzariyah. Ajaran-ajarannya sampai sekarang masih diikuti oleh penduduk di sana. Dengan ini, aliran Nazzariyah juga dikenal dengan sebutan “Aqa-khaniyah”.
Musta’liyah adalah para pengikut Musta’li, salah seorang raja dinasti Fathimiyah yang pernah berkuasa di Mesir. Aliran ini akhirnya musnah pada tahun 557 H. Setelah beberapa tahun berlalu, sebuah aliran baru muncul di India yang bernama “Buhreh” (Buhreh adalah bahasa Gujarat yang berarti pedagang) dan meneruskan ajaran-ajaran Musta’liyah yang hingga sekarang masih memiliki pengikut.

 Duruziyah
Pada mulanya Duruziyah adalah para pengikut setia para kahlifah dinasti Fathimiyah. Akan tetapi, ketika Khalifah keenam dinasti Fathimiyah memegang tampuk kekuasaan, atas ajakan Neshtegin Duruzi mereka memeluk aliran Bathiniyah. Mereka meyakini bahwa Al-Hakim Billah ghaib dan naik ke atas langit. Ia akan muncul kembali di tengah-tengah masyarakat.
 Muqanni’iyah
Pada mulanya Muqanni’iyah adalah pengikut ‘Atha` Al-Marvi yang lebih dikenal dengan sebutan Muqanni’. Ia adalah salah seorang pengikut Abu Muslim Al-Khurasani. Setelah Abu Muslim meninggal dunia, ia mengaku bahwa ruhnya menjelma dalam dirinya. Tidak lama setelah itu, ia mengaku nabi dan kemudian mengaku dirinya Tuhan. Pada tahun 163 H., ia dikepung di benteng Kish yang berada di salah satu negara-negara Maa Wara`annahr. Karena yakin dirinya akan tertangkap dan akhirnya terbunuh, ia menyalakan api unggun lalu terjun ke dalamnya bersama beberapa orang pengikutnya. Para pengikutnya akhirnya menganut mazhab Ismailiyah yang beraliran faham Bathiniyah.
c. Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah
Mayoritas Syi’ah adalah Syi’ah Imamiah Itsna ‘Asyariyah. Seperti yang telah disinggung di atas, mazhab ini memisahkan diri dari mayoritas muslimin setelah Rasulullah SAWW meniggal dunia dikarenakan dua faktor urgen yang tidak diindahkan oleh mayoritas muslimin kala itu. Dua faktor urgen tersebut adalah imamah (kepemimpinan) dan kewajiban untuk merujuk kepada Ahlul Bayt a.s. dalam segala bidang ilmu pengetahuan.
Mereka meyakini bahwa Rasulullah SAWW adalah penutup semua nabi dan para imam a.s. tersebut --berdasarkan hadis-hadis mutawatir yang disabdakan olehnya-- berjumlah dua belas orang, tidak lebih dan tidak kurang.
Mereka juga meyakini bahwa Al Quran mencakup semua hukum yang diperlukan oleh kehidupan manusia dan hukum-hukum tersebut tidak akan pernah mengalami perubahan dan renovasi. Bahkan hukum-hukum tersebut adalah kekal dan abadi hingga hari kiamat.
Dari sini dapat diketahui perbedaan mendasar antara Syi’ah Imamiah, Syi’ah Zaidiyah dan Syi’ah Ismailiyah. Syi’ah Zaidiyah meyakini bahwa imamah bukanlah hak prerogatif Ahlul Bayt a.s. dan para imam tidak berjumlah dua belas orang serta mereka tidak mengikuti fiqih Ahlul Bayt a.s. Sementara, Syi’ah Ismailiyah meyakini bahwa para imam berjumlah tujuh orang, Rasulullah SAWW bukanlah penutup para nabi dan hukum-hukum syari’at bisa dirubah. Bahkan --menurut keyakinan Bathiniyah-- kewajiban manusia sebagai makhluk Allah (taklif) bisa dihapus total.

=================================


Written by Abu Ashbal
Sunday, 09 December 2007
Sejarah Munculnya Syi’ah


a.Kapan Syi’ah Muncul?
Syi’ah sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib a.s. (imam pertama kaum Syi’ah) sudah muncul sejak Rasulullah SAWW masih hidup. Hal ini dapat dibuktikan dengan realita-realita berikut ini:
Pertama, ketika Rasulullah SAWW mendapat perintah dari Allah SWT untuk mengajak keluarga terdekatnya masuk Islam, ia berkata kepada mereka: “Barang siapa di antara kalian yang siap untuk mengikutiku, maka ia akan menjadi pengganti dan washiku setelah aku meninggal dunia”. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang bersedia untuk mengikutinya kecuali Ali a.s. Sangat tidak masuk akal jika seorang pemimpin pergerakan --di hari pertama ia memulai langkah-langkahnya--memperkenalkan penggantinya setelah ia wafat kepada orang lain dan tidak memperkenalkanya kepada para pengikutnya yang setia. Atau ia mengangkat seseorang untuk menjadi penggantinya, akan tetapi, di sepanjang masa aktifnya pergerakan tersebut ia tidak memberikan tugas sedikit pun kepada penggantinya dan memperlakukannya sebagaimana orang biasa. Keberatan-keberatan di atas adalah bukti kuat bahwa Imam Ali a.s. setelah diperkenalkan sebagai pengganti dan washi Rasulullah SAWW di hari pertama dakwah, memiliki misi yang tidak berbeda dengan missi Rasulullah SAWW dan orang yang mengikutinya berarti ia juga mengikuti Rasulullah SAWW.
Kedua, berdasarkan riwayat-riwayat mutawatir yang dinukil oleh Ahlussunnah dan Syi’ah, Rasulullah SAWW pernah bersabda bahwa Imam Ali a.s. terjaga dari setiap dosa dan kesalahan, baik dalam ucapan maupun perilaku. Semua tindakan dan perilakunya sesuai dengan agama Islam dan ia adalah orang yang paling tahu tentang Islam.
Ketiga, Imam Ali a.s. adalah sosok figur yang telah berhasil menghidupkan Islam dengan pengorbanan-pengorbanan yang telah lakukannya. Seperti, ia pernah tidur di atas ranjang Rasulullah SAWW di malam peristiwa lailatul mabit ketika Rasulullah SAWW hendak berhijrah ke Madinah dan kepahlawannya di medan perang Badar, Uhud, Khandaq dan Khaibar. Seandainya pengorbanan-pengorbanan tersebut tidak pernah dilakukannya, niscaya Islam akan sirna di telan gelombang kebatilan.
Keempat, peristiwa Ghadir Khum adalah puncak keistimewaan yang dimiliki oleh Imam Ali a.s. Sebuah peristiwa --yang seandainya dapat direalisasikan sesuai dengan kehendak Rasulullah SAWW-- akan memberikan warna lain terhadap Islam.

Semua keistimewaan dan keistimewaan-keistimewaan lain yang diakui oleh Ahlussunnah bahwa semua itu hanya dimiliki oleh Imam Ali a.s. secara otomatis akan menjadikan sebagian pengikut Rasulullah SAWW yang memang mencintai kesempurnaan dan hakikat, akan mencintai Imam Ali a.s. dan lebih dari itu, akan menjadi pengikutnya. Dan tidak menutup kemungkinan bagi sebagian pengikutnya yang memang memendam rasa dengki di hati kepada Imam Ali a.s., untuk membencinya meskipun mereka melihat ia telah berjasa dalam mengembangkan dan menjaga Islam dari kesirnaan.
b.Mengapa Minoritas Syi’ah berpisah dari mayoritas Ahlussunnah?
Dengan melihat keistimewaan dan kedudukan yang dimiliki oleh Imam Ali a.s., para pengikutnya meyakini bahwa ia adalah satu-satunya sahabat yang berhak untuk menggantikan kedudukan Rasulullah SAWW setelah ia wafat. Keyakinan ini menjadi semakin mantap setelah peristiwa “kertas dan pena” yang terjadi beberapa hari sebelum ia meninggal dunia. Akan tetapi, kenyataan bericara lain. Ketika Ahlul Bayt a.s. dan para pengikut setia mereka sedang sibuk mengurusi jenazah Rasulullah SAWW untuk dikebumikan, mayoritas sahabat yang didalangi oleh sekelompok sahabat yang memiliki kepentingan-kepentingan pribadi dengan Islam, berkumpul di sebuah balai pertemuan yang bernama Saqifah Bani Sa’idah guna menentukan khalifah pengganti Rasulullah SAWW. Dan dengan cara dan metode keji, para dalang “permainan” ini menentukan Abu Bakar sebagai khalifah pertama muslimin.
Setelah para pengikut Imam Ali a.s. yang hanya segelintir selesai mengebumikan jenazah Rasulullah SAWW, mereka mendapat berita bahwa khalifah muslimin telah dipilih. Banyak pengikut Imam Ali a.s. seperti Abbas, Zubair, Salman, Abu Dzar, Ammar Yasir dan lain-lain yang protes atas pemilihan tersebut dan menganggapnya tidak absah. Yang mereka dengar hanyalah alasan yang biasa dilontarkan oleh orang ingin membela diri. Mereka hanya berkata: “Kemaslahatan muslimin menuntut demikian”.
Protes minoritas inilah yang menyebabkan mereka memisahkan diri dari mayoritas masyarakat yang mendominasi arena politik kala itu. Dengan demikian, terwujudlah dua golongan di dalam tubuh masyarakat muslim yang baru ditinggal oleh pemimpinnya. Akan tetapi, pihak mayoritas yang tidak ingin realita itu diketahui oleh para musuh luar Islam, mereka mengeksposkan sebuah berita kepada masyarakat bahwa pihak minoritas itu adalah penentang pemerintahan yang resmi. Akibatnya, mereka dianggap sebagai musuh Islam.
Meskipun adanya tekanan-tekanan dari kelompok mayoritas, kelompok minoritas ini masih tetap teguh memegang keyakinannya bahwa kepemimpinan adalah hak Imam Ali a.s. setelah Rasulullah SAWW meninggal dunia. Bukan hanya itu, dalam menghadapi segala problema kehidupan, mereka hanya merujuk kepada Imam Ali a.s. untuk memecahkannya, bukan kepada pemerintah. Meskipun demikian, berkenaan dengan problema-problema yang menyangkut kepentingan umum, mereka tetap bersedia untuk ikut andil memecahkannya. Banyak problema telah terjadi yang tidak dapat dipecahkan oleh para khalifah, dan Imam Ali a.s. tampil aktif dalam memecahkannya.
c. Penyelewengan pada Masa Tiga Khalifah
Pada masa kepemimpinan tiga khalifah pertama muslimin, banyak terjadi penyelewengan-penyelewengan dilakukan oleh mereka dalam menjalankan pemerintahan yang tidak sesuai dengan rel Islam dan sunnah Rasulullah SAWW. Diamnya pemerintah atas pembunuhan yang telah dilakukan oleh Khalid bin Walid terhadap Malik bin Nuwairah yang berlanjut dengan pemerkosaan terhadap istrinya, pembagian harta baitul mal yang tidak merata sehingga menimbulkan perbedaan strata masyarakat kaya dan miskin, penghapusan dua jenis mut’ah yang sebelumnya pernah berlaku pada masa Rasulullah SAWW, penghapusan khumus dari orang-orang yang berhak menerimanya, pelarangan penulisan hadis-hadis Rasulullah SAWW, pelarangan mengucapkan hayya ‘alaa khairil ‘amal dalam azan, pemberian harta dan dukungan istimewa kepada Mu’awiyah sehingga ia dapat berkuasa di Syam dengan leluasa, dan lain sebagainya, semua itu adalah bukti jelas penyelewengan dan kepincangan yang terjadi pada masa tiga khalifah pertama. Semua itu jelas terjadi sehingga orang yang berpikiran jernih dan tidak dipengaruhi oleh fanatisme mazhab akan dapat menerimanya dengan menelaah buku-buku sejarah yang otentik.
Setelah Utsman bin Affan, Khalifat ketiga muslimin dibunuh oleh para “pemberontak” yang tidak rela dengan kinerjanya selama ia memegang tampuk khilafah, masyarakat dengan serta merta memilih Imam Ali a.s. secara aklamasi untuk memegang tampuk khilafah. Di antara Muhajirin yang pertama kali berbai’at dengannya adalah Thalhah dan Zubair. Hal ini terjadi pada tahun 5 H. Sangat disayangkan kekhilafahannya hanya berjalan sekitar 4 tahun 5 bulan, masa yang sangat sedikit untuk mengadakan sebuah perombakan dan reformasi mendasar.
Begitu ia menjadi khalifah, khotbah pertama yang dilontarkannya adalah sebagai berikut: “Ketahuilah bahwa segala kesulitan yang pernah kalian alami di masa-masa pertama Rasulullah SAWW diutus menjadi nabi, sekarang akan kembali menimpa kalian. Sekarang orang-orang yang memiliki keahlian dan selama ini disingkirkan harus memiliki kedudukan yang layak dan orang-orang yang tidak becus harus disingkirkan dari kedudukan yang telah diberikan kepada mereka dengan tidak benar”.
Ia mengadakan perombakan-perombakan secara besar-besaran, baik di bidang birokrasi maupun bidang pembagian harta baitul mal. Ia mengganti semua gubernur daerah yang telah ditunjuk oleh para khalifah sebelumnya dengan orang-orang yang layak untuk memegang tampuk tersebut dan membagikan harta baitul mal dengan sama rata di antara masyarakat. Hal ini menyebabkan sebagian sahabat sakit hati. Tentunya mereka yang merasa dirugikan oleh metode Imam Ali a.s. tersebut. Hal itu dapat kita pahami dalam peristiwa-peristiwa berdarah berikut:
Faktor utama perang Jamal adalah rasa sakit hati Thalhah dan Zubair karena hak mereka --sebagai sahabat senior-- dari harta baitul mal merasa dikurangi dan disamaratakan dengan masyarakat umum. Dengan alasan ingin menziarahi Ka’bah, mereka masuk ke kota Makkah dan menemui A’isyah yang memiliki hubungan tidak baik dengan Imam Ali a.s. demi mengajaknya memberontak atas pemerintahan yang sah. Slogan yang mereka gembar-gemborkan untuk menarik perhatian opini umum adalah membalas dendam atas kematian Utsman. Padahal, ketika Utsman dikepung oleh para “pemberontak” yang ingin membunuhnya, mereka ada di Madinah dan tidak sedikit pun usaha yang tampak dari mereka untuk membelanya. A’isyah sendiri adalah orang pertama dan paling bersemangat mensupport masyarakat untuk membunuhnya. Ketika ia mendengar Utsman telah terbunuh, ia mencelanya dan merasa bahagia karena itu.
Faktor utama perang Shiffin adalah rasa tamak Mu’awiyah atas khilafah, karena ia telah disingkirkan oleh Imam Ali a.s. dari kursi kegubernuran Syam. Perang ini berlangsung selama 1,5 tahun yang telah memakan banyak korban tidak bersalah. Slogan Mu’awiyah di perang adalah membalas dendam atas kematian Utsman juga. Padahal, selama Utsman dalam kepungan para “pemberontak”, ia meminta bantuan dari Mua’wiyah yang bercokol di Syam demi membasmi mereka. Dengan satu pleton pasukan lengkap, Mu’awiyah berangkat dari Syam ke arah Madinah. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka sengaja memperlambat jalannya pasukan sehingga Utsman terbunuh. Setelah mendengar Utsman terbunuh, mereka kembali ke Syam dan kemudian bergerak kembali menuju ke Madinah dengan slogan “membalas dendam atas kematian Utsman”. Akhirnya pecahlah Shiffin.
Anehnya, ketika Imam Ali a.s. syahid dan Mu’awiyah berhasil memegang tampuk khilafah, mengapa ia tidak mendengung-dengungkan kembali slogan “membalas dendam atas kematian Utsman”?
Setelah perang Shiffin berhasil dipadamkan, perang Nahrawan berkecamuk. Faktornya adalah ketidakpuasan sebagian sahabat yang disulut oleh Mu’awiyah atas pemerintahan Imam Ali a.s. dan atas hasil perdamaian yang dipaksakan oleh mereka sendiri terhadap Imam Ali a.s. yang menghasilkan pencabutannya dari kursi khilafah dan penetapan Mu’awiyah sebagai khalifah muslimin. Tapi akhirnya, Imam Ali a.s. juga berhasil memadamkan api perang tersebut.
Tidak lama berselang dari peristiwa Nahrawan, Imam Ali a.s. syahid dengan kepala yang mengucurkan darah akibat tebasan pedang Abdurrahman bin Muljam di mihrab masjid Kufah.
d. Keberhasilan-keberhasilan Pemerintahan Imam Ali a.s.
Meskipun Imam Ali a.s. tidak berhasil memapankan kembali situasi masyarakat Islam yang sudah bobrok itu secara sempurna, akan tetapi, dalam tiga segi ia dapat dikatakan berhasil:
Pertama, dengan kehidupan sederhana yang dimilikinya, ia berhasil menunjukkan kepada masyarakat luas, khususnya para generasi baru, metode hidup Rasulullah SAWW yang sangat menarik dan pantas untuk diteladani. Hal ini berlainan sekali dengan kehidupan Mu’awiyah yang serba mewah. Ia a.s. tidak pernah mendahulukan kepentingan keluarganya atas kepentingan umum.
Kedua, dengan segala kesibukan dan problema sosial yang dihadapinya, ia masih sempat meninggalkan warisan segala jenis ilmu pengetahuan yang berguna bagi kehidupan masyarakat dan dapat dijadikan sebagai penunjuk jalan untuk mencapai tujuan hidup insani yang sebenarnya. Ia mewariskan sebelas ribu ungkapan-ungkapan pendek dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan rasional, sosial dan keagamaan. Ia adalah pencetus tata bahasa Arab dan orang pertama yang mengutarakan pembahasan-pembahasan filosofis yang belum pernah dikenal oleh para filosof kaliber kala itu. Dan ia juga orang pertama dalam Islam yang menggunakan argumentasi-argumentasi rasional dalam menetapkan sebuah pembahasan filosofis.
Ketiga, ia berhasil mendidik para pakar agama Islam yang dijadikan sumber rujukan dalam bidang ilmu ‘irfan oleh para ‘arif di masa sekarang, seperti Uwais Al-Qarani, Kumail bin Ziyad, Maitsam At-Tammar dan Rusyaid Al-Ĥajari.
e.Masa Sulit bagi Kaum Syi’ah
Setelah Imam Ali a.s. syahid di mihrab shalatnya, masyarakat waktu itu membai’at Imam Hasan a.s. untuk memegang tampuk khilafah. Setelah ia dibai’at, Mu’awiyah tidak tinggal diam. Ia malah mengirim pasukan yang berjumlah cukup besar ke Irak sebagai pusat pemerintahan Islam waktu itu untuk mengadakan peperangan dengan pemerintahan yang sah. Dengan segala tipu muslihat dan iming-iming harta yang melimpah, Mu’wiyah berhasil menipu para anggota pasukan Imam Hasan a.s. dan dengan teganya mereka meninggalkannya sendirian. Melihat kondisi yang tidak berpihak kepadanya dan dengan meneruskan perang Islam akan hancur, dengan terpaksa ia harus mengadakan perdamaian dengan Mu’awiyah. (Butir-butir perjanjian ini dapat dilihat di sejarah 14 ma’shum a.s.)
Setelah Mu’awiyah berhasil merebut khilafah dari tangan Imam Hasan a.s. pada tahun 40 H., --sebagaimana layaknya para pemeran politik kotor-- ia langsung menginjak-injak surat perdamaian yang telah ditandatanganinya. Dalam sebuah kesempatan ia pernah berkata: “Aku tidak berperang dengan kalian karena aku ingin menegakkan shalat dan puasa. Sesungguhnya aku hanya ingin berkuasa atas kalian, dan aku sekarang telah sampai kepada tujuanku”.
Dengan demikian, Mu’awiyah ingin menghidupkan kembali sistem kerajaan sebagai ganti dari sistem khilafah sebagai penerus kenabian. Hal ini diperkuat dengan diangkatnya Yazid, putranya sebagai putra mahkota dan penggantinya setelah ia mati.
Mua’wiyah tidak pernah memberikan kesempatan kepada para pengikut Syi’ah untuk bernafas dengan tenang. Setiap ada orang yang diketahui sebagai pengikut Syi’ah, ia akan langsung dibunuh di tempat. Bukan hanya itu, setiap orang yang melantunkan syair yang berisi pujian terhadap keluarga Ali a.s., ia akan dibunuh meskipun ia bukan pengikut Syi’ah. Tidak cukup sampai di sini saja, ia juga memerintahkan kepada para khotib shalat Jumat untuk melaknat dan mencerca Imam Ali a.s. Kebiasaan ini berlangsung hingga masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz pada tahun 99-101 H.
Masa pemerintahan Mu’awiyah (selama 20 tahun) adalah masa tersulit bagi kaum Syi’ah di mana mereka tidak pernah memiliki sedikit pun kesempatan untuk bernafas.
Mayoritas pengikut Ahlussunnah menakwilkan semua pembunuhan yang telah dilakukan oleh para sahabat, khususnya Mu’awiyah itu dengan berasumsi bahwa mereka adalah sahabat Nabi SAWW dan semua perilaku mereka adalah ijtihad yang dilandasi oleh hadis-hadis yang telah mereka terima darinya. Oleh karena itu, semua perilkau mereka adalah benar dan diridhai oleh Allah SWT. Seandainya pun mereka salah dalam menentukan sikap dan perilaku, mereka akan tetap mendapatkan pahala berdasarkan ijtihad tang telah mereka lakukan.
Akan tetapi, Syi’ah tidak menerima asumsi di atas dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, tidak masuk akal jika seorang pemimpin yang ingin menegakkan kebenaran, keadilan dan kebebasan dan mengajak orang-orang yang ada si sekitarnya untuk merealisasikan hal itu, setelah tujuan yang diinginkannya itu terwujudkan, ia merusak sendiri cita-citanya dengan cara memberikan kebebasan mutlak kepada para pengikutnya, dan segala kesalahan, perampasan hak orang lain dengan segala cara, serta tindakaan-tindakan kriminal yang mereka lakukan dimaafkan.
Kedua, hadis-hadis yang “menyucikan” para sahabat dan membenarkan semua perilaku non-manusiwi mereka berasal dari para sahabat sendiri. Dan sejarah membuktikan bahwa mereka tidak pernah memperhatikan hadis-hadis di atas. Mereka saling menuduh, membunuh, mencela dan melaknat. Dengan bukti di atas, keabsahan hadis-hadis di atas perlu diragukan.
Mu’awiyah menemui ajalnya pada tahun 60 H. dan Yazid, putranya menduduki kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam. Sejarah membuktikan bahwa Yazid adalah sosok manusia yang tidak memiliki kepribadian luhur sedikit pun. Kesenangannya adalah melampiaskan hawa nafsu dan segala keinginannya. Dengan latar belakangnya yang demikian “cemerlang”, tidak aneh jika di tahun pertama memerintah, ia tega membunuh Imam Husein a.s., para keluarga dan sahabatnya dengan dalih karena mereka enggan berbai’at dengannya. Setelah itu, ia menancapkan kepala para syahid tersebut di ujung tombak dan mengelilingkannya di kota-kota besar; Di tahun kedua memerintah, ia mengadakan pembunuhan besar-besaran di kota Madinah dan menghalalkan darah, harta dan harga diri penduduk Madinah selama tiga hari kepada para pasukannya; Di tahun ketiga memerintah, ia membakar Ka’bah, kiblat muslimin.
Setelah masa Yazid dengan segala kebrutalannya berlalu, Bani Marwan yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Bani Umaiyah menggantikan kedudukannya. Mereka pun tidak kalah kejam dan keji dari Yazid. Mereka berhasil berkuasa selama 70 tahun dan jumlah khalifah dari dinasti mereka adalah sebelas orang. Salah seorang dari mereka pernah ingin membuat sebuah kamar di atas Ka’bah dengan tujuan untuk melampiaskan hawa nafsunya di dalamnya ketika musim haji tiba.
Dengan melihat kelaliman yang dilakukan oleh para khalifah waktu itu, para pengikut Syi’ah makin kokoh dalam memegang keyakinan mereka. Di akhir-akhir masa kekuasaan Bani Umaiyah, mereka dapat menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa mereka masih memilliki eksistensi dan mampu untuk melawan para penguasa lalim. Di masa keimamahan Imam Muhammad Baqir a.s. dan belum 40 tahun berlalu dari terbunuhnya Imam Husein a.s., para pengikut Syi’ah yang berdomisili di berbagai negara dengan memanfaatkan kelemahan pemerintahan Bani Umaiyah karena tekanan-tekanan dari para pemberontak yang tidak puas dengan perilaku mereka, datang ke Madinah untuk belajar dari Imam Baqir a.s. Sebelum abad ke-1 H. usai, beberapa pembesar kabilah di Iran membangun kota Qom dan meresmikannya sebagai kota pemeluk Syi’ah. Beberapa kali para keturunan Imam Ali a.s. karena tekanan yang dilakukan oleh Bani Umaiyah atas mereka, mengadakan pemberontakan-pemberontakan melawan penguasa dan perlawanan mereka --meskipun mengalami kekalahan-- sempat mengancam keamanan pemerintah. Realita ini menunjukkan bahwa eksistensi Syi’ah belum sirna.
Dikarenakan kelaliman dinasti Bani Umaiyah yang sudah melampui batas, opini umum sangat membenci dan murka terhadap mereka. Setelah dinasti mereka runtuh dan penguasa terkahir mereka (Marwan ke-2 yang juga dikenal dengan sebutan Al-Himar, berkuasa dari tahun 127-132 H.) dibunuh, dua orang putranya melarikan diri bersama keluarganya. Mereka meminta suaka politik kepada berbagai negara, dan mereka enggan memberikan suaka politik kepada para pembunuh keluarga Rasulullah SAWW tersebut. Setelah mereka terlontang-lantung di gurun pasir yang panas, mayoritas mereka binasa karena kehausan dan kelaparan. Sebagian yang masih hidup pergi ke Yaman, dan kemudian dengan berpakaian compang-camping ala pengangkat barang di pasar-pasar mereka berhasil memasuki kota Makkah. Di Makkah pun mereka tidak berani menampakkan batang hidung, mungkin karena malu atau karena sebab yang lain.
f. Syi’ah Pada Abad Ke-2 H.
Di akhir-akhir sepertiga pertama abad ke-2 H., karena kelaliman dinasti Bani Umaiyah, muncul sebuah pemberontakan dari arah Khurasan, Iran dengan mengatasnamakan Ahlu Bayt a.s. Pemberontakan ini dipelopori oleh seorang militer berkebangsaan Iran yang bernama Abu Muslim Al-Marwazi. Dengan syiar ingin membalas dendam atas darah Ahlu Bayt a.s., ia memulai perlawanannya terhadap dinasti Bani Umaiyah. Banyak masyarakat yang tergiur dengan syiar tersebut sehingga mereka mendukung pemberontakannya. Akan tetapi, pemberontakan ini tidak mendapat dukungan dari Imam Shadiq a.s. Ketika Abu Muslim menawarkan kepadanya untuk dibai’at sebagai pemimpin umat, ia menolak seraya berkata: “Engkau bukanlah orangku dan sekarang bukan masaku untuk memberontak”.
Setelah mereka berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Umaiyah, di hari-hari pertama berkuasa mereka memperlakukan para keturunan Imam Ali a.s. dengan baik, dan demi membalas dendam atas darah mereka yang telah dikucurkan, mereka membunuh semua keturunan Bani Umaiyah. Bahkan, mereka menggali kuburan-kuburan para penguasa Bani Umaiyah untuk dibakar jenazah mereka. Tidak lama berlalu, mereka mulai mengadakan penekanan-penekanan serius terhadap para keturunan Imam Ali a.s. dan para pengikut mereka serta orang-orang yang simpatik kepada mereka. Abu Hanifah pernah dipenjara dan disiksa oleh Manshur Dawaniqi dan Ahmad bin Hanbal juga pernah dicambuk olehnya. Imam Shadiq a.s. setelah disiksa dengan keji, dibunuh dengan racun dan para keturunan Imam Ali a.s. dibunuh atau dikubur hidup-hidup.
Kesimpulannya, kondisi para pengikut Syi’ah pada masa berkuasanya dinasti Bani Abasiah tidak jauh berbeda dengan kondisi mereka pada masa dinasti Bani Umaiyah.
g.Syi’ah Pada Abad Ke-3 H.
Dengan masuknya abad ke-3 H., para pengikut Syi’ah Imamiah mendapatkan kesempatan baru untuk mengembangkan missi mereka. Mereka dapat menikmati sedikit keleluasaan untuk mengembangkan dakwah di berbagai penjuru. Faktornya adalah dua hal berikut:
Pertama, banyaknya buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, dan masyarakat bersemangat untuk memperlajari ilmu-ilmu rasional dengan antusias. Di samping itu, peran Ma`mun Al-Abasi (195-218 H.) juga tidak patut dilupakan. Ia menganut mazhab Mu’tazilah yang sangat mendorong para pengikutnya untuk mengembangkan dan mempelajari argumentasi-argumentasi rasional. Oleh karena itu, ia memberikan kebebasan penuh kepada para pemikir dan teolog setiap agama untuk menyebarkan teologi dan keyakinan mereka masing-masing. Para pengikut Syi’ah tidak menyia-siakan kesempatan ini. Mereka mengembangkan jangkauan mazhab Syi’ah ke berbagai penjuru kota dan mengadakan dialog dengan para pemimpin agama lain demi mengenalkan keyakinan mazhab Syi’ah kepada khalayak ramai.
Kedua, Ma`mun Al-Abasi mengangkat Imam Ridha a.s. sebagai putra mahkota. Dengan ini, para keturunan Imam Ali a.s. dan sahabat mereka terjaga dari jamahan tangan para penguasa, dan menemukan ruang gerak yang relatif bebas.
Akan tetapi, kondisi ini tidak berlangsung lama. Karena setelah semua itu berlalu, politik kotor dinasti Bani Abasiyah mulai merongrong para keturunan Imam Ali a.s. dan pengikut mereka kembali. Khususnya pada masa Mutawakil Al-Abasi (232-247 H.). Atas perintahnya, kuburan Imam Husein a.s. di Karbala` diratakan dengan tanah.
h.Syi’ah Pada Abad ke-4 H.
Pada abad ke-4 H., dengan melemahnya kekuatan dinasti Bani Abasiyah dan kuatnya pengaruh para raja dinasti Alu Buyeh yang menganut mazhab Syi’ah di Baghdad (pusat khilafah Bani Abasiyah kala itu), terwujudlah sebuah kesempatan emas bagi para penganut Syi’ah untuk mengembangkan mazhab mereka dengan leluasa. Dengan demikian, --menurut pendapat para sejarawan--mayoritas penduduk jazirah Arab, seperti Hajar, Oman, dan Sha’dah, kota Tharablus, Nablus, Thabariah, Halab dan Harat menganut mazhab Syi’ah kecuali mereka yang berdomisili di kota-kota besar. Antara kota Bashrah sebagai pusat mazhab Ahlussunnah dan kota Kufah sebagai pusat mazhab Syi’ah selalu terjadi gesekan-gesekan antar mazhab. Tidak sampai di situ, penduduk kota Ahvaz dan Teluk Persia di Iran juga memeluk mazhab Syi’ah.
Di awal abad ini, seorang mubaligh yang bernama Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Hasan bin Ali bin Umar bin Ali bin Imam Husein a.s. yang dikenal dengan sebutan Nashir Uthrush (250-320 H.) melakukan aktifitas dakwahnya di Iran Utara dan berhasil menguasai Thabaristan. Lalu ia membentuk sebuah kerajaan di sana. Sebelumnya, Hasan bin Yazid Al-Alawi juga pernah berkuasa di daerah itu.
Pada abad ini juga tepatnya tahun 296-527 H., dinasti Fathimiyah yang menganut mazhab Syi’ah Isma’iliyah berhasil menguasai Mesir dan mendirikan kerajaan besar di sana.
Sangat sering terjadi gesekan-gesekan antar mazhab di kota-kota seperti Bahgdad, Bashrah dan Nisyabur antara mazhab Ahlusunnah dan Syi’ah, dan di mayoritas gesekan antar mazhab tersebut, Syi’ah berhasil menang dengan gemilang.
i. Syi’ah Pada Abad ke-5 hingga Abad ke-9 H.
Dari abad ke-5 hingga abad ke-9 H., sistematika perkembangan mazhab Syi’ah tidak jauh berbeda dengan sistematika perkembangannya pada abad ke-4. Perkembangannya selalu didukung oleh kekuatan pemerintah yang memang menganut mazhab Syi’ah. Di akhir abad ke-5 H., mazhab Syi’ah Isma’iliyah berkuasa di Iran selama kurang lebih satu setengah abad dan ia dapat menyebarkan ajaran-ajaran Syi’ah dengan leluasa. Dinasti Al-Mar’asyi bertahun-tahun berkuasa di Mazandaran, Iran. Setelah masa mereka berlalu, dinasti Syah Khudabandeh, silsilah kerajaan Mongol memeluk dan menyebarkan mazhab Syi’ah. Dan kemudian, raja-raja dari dinasti Aaq Quyunlu dan Qareh Quyunlu yang berkuasa di Tabriz dan kekuasaan mereka terbentang hingga ke daerah Kerman serta dinasti Fathimiyah di Mesir berhasil menyebarkan mazhab Syi’ah ke seluruh masyarakat ramai.
Akan tetapi, hal itu tidak berlangsung lama. Setelah dinasti Fathimiyah mengalami kehancuran dan dinati Alu Ayyub berkuasa, para pengikut Syi’ah mulai terikat kembali dan mereka tidak bebas menyebarkan mazhab mereka. Banyak para tokoh Syi’ah yang dipenggal kepalanya pada masa itu. Seperti Syahid Awal dan seorang faqih kenamaan Syi’ah, Muhammad bin Muhammad Al-Makki dipenggal kepalanya pada tahun 786 H. di Damaskus karena tuduhan menganut mazhab Syi’ah, dan Syeikh Isyraq, Syihabuddin Sahruwardi dipenggal kepalanya di Halab karena tuduhan mengajarkan filsafat.
j. Syi’ah Pada Abad ke-10 hingga ke-11 H.
Pada tahun 906 H., Syah Isma’il Shafawi yang masih berusia 13 tahun, salah seorang keturunan Syeikh Shafi Al-Ardabili (seorang syeikh thariqah di mazhab Syi’ah dan meninggal pada tahun 153 H.), ingin mendirikan sebuah negara Syi’ah yang mandiri. Akhirnya, ia mengumpulkan para Darwisy pengikut kakeknya dan mengadakan pemberontakan dimulai dari daerah Ardabil dengan cara memberantas sistem kepemimpinan kabilah yang dominan kala itu dan membebaskan seluruh daerah Iran dari cengkraman dinasti Utsmaniyah dengan tujuan supaya Iran menjadi negara yang tunggal. Dan ia berhasil mewujudkan cita-citanya tersebut sehingga sebuah kerajaan Syi’ah Imamiah terbentuk dan berdaulat kala itu. Setelah ia meninggal dunia, kerajaannya diteruskan oleh putra-putranya. Mazhab Syi’ah kala itu memiliki legistimasi hukum yang sangat kuat sehingga semua organ pemerintah menganut mazhab Syi’ah. Pada masa kecemerlangan dinasti Shafawiyah di bawah pimpinan Syah Abbas yang Agung, kuantitas pengikut Syi’ah mencapai dua kali lipat penduduk Iran pada tahun 1384 H.
k. Syiah Pada Abad ke-12 hingga ke-14 H.
Di tiga abad terakhir ini, mazhab Syi’ah berkembang dengan sangat pesat, khususnya setelah ia menjadi mazhab resmi Iran setelah kemenangan Revolusi Islam. Begitu juga di Yaman dan Irak, mayoritas penduduknya memeluk mazhab Syi’ah. Dapat dikatakan bahwa di setiap negara yang penduduknya muslim, akan ditemukan para pemeluk Syi’ah. Di masa sekarang, diperkirakan bahwa pengikut Syi’ah di seluruh dunia berjumlah 300.000 .000 lebih.

==============================

Written by Abu Ashbal
Sunday, 09 December 2007
Definisi Agama, Islam dan Syi'ah


Bismillahirrahmanirrahim.
Sebelum kita membahas mengenai sejarah kemunculan Syi’ah dan aneka ragam aliran yang ada di dalamnya, ada baiknya --secara global-- kita mengetahui terlebih dahulu definisi agama, Islam dan Syi’ah.
a. Agama
Tidak diragukan lagi bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan untuk hidup bermasyarakat dengan sesama jenisnya. Di dalam hidup bermasyarakat tersebut sangat sering terjadi aktifitas, seperti makan, minum, tidur, berbicara, berkorelasi dan lain sebagainya yang secara lahiriah berbeda dari satu individu ke individu yang lain. Akan tetapi, pada hakikatnya semua aktifitas tersebut sangat berhubungan erat antara yang satu dengan lainnya. Semua aktifitas tersebut memiliki aturan dan ketentuan tertentu yang menyebabkan setiap aktifitas tidak layak dikerjakan kecuali dalam ruang lingkup yang sesuai dengan eksistensinya.
Apa yang diinginkan oleh manusia dengan semua aktifitas itu? Jawabannya sangat mudah dan jelas. Ia ingin memiliki sebuah kehidupan yang terhormat bagi dirinya dan --sebisa mungkin-- ia ingin menggapai semua tujuan hidup yang telah dicanangkannya. Untuk merealisasikan hal itu, ia akan selalu berusaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya demi menikmati hidup yang lebih lama.
Dari sinilah, supaya tidak terjadi gesekan-gesekan dengan masyarakatnya yang dapat memngundang kebinasaannya, ia akan selalu melaksanakan semua aktifitasnya sesuai dengan hukum dan undang-undang yang telah disepakati oleh masyarakatnya, baik undang-undang tersebut adalah buatan mereka sendiri atau hasil menyontek dari orang lain. Pokoknya, ia akan memilih sebuah metode khusus yang sesuai dengan keinginannya dalam menjalani kehidupan ini.
Undang-undang yang telah disepakati tersebut pasti dilandasi oleh satu keyakinan mendasar yang dijadikannya sebagai pegangan utama dalam hidupnya. Itu adalah pandangan dunianya. Orang yang meyakini bahwa dunia ini hanyalah materi dan manusia adalah makhluk materi belaka yang dengan ditiupkannya ruh ke dalam tubuhnya, ia akan hidup dan dengan dicabutnya kembali ruh tersebut, ia akan binasa, segala usahanya akan difokuskan untuk memenuhi kebutuhan materi ini belaka. Dan sebaliknya, orang yang meyakini bahwa di samping kehidupan materi ini, manusia juga akan memiliki kehidupan kekal di alam akhirat dan ia akan mendapat balasan yang setimpal di sana, ia akan berusaha untuk memenuhi kehidupan materi ini dan menyelamatkan diri dari azab Ilahi di alam sana. Dengan kata lain, ia akan berusaha untuk memperoleh kebahagiaan di alam materi ini dan di alam kiamat kelak.
Gabungan antara pandangan dunia dan undang-undang yang sesuai dengan pandangan dunia ini disebut agama. Dan jika agama itu memiliki aliran-aliran cabang yang tentunya akan saling berbeda antara satu dengan lainnya, aliran tersebut dinamakan mazhab. Seperti Syi’ah dan Ahlussunnah dalam agama Islam dan Protestan dan Katolik dalam agama Kristen.
Dengan penjelasan global di atas dapat ditari sebuah kesimpulan bahwa setiap manusia --meskipun ia tidak meyakini adanya Tuhan-- pasti memiliki sebuah “agama” yang akan dipraktekkan dalam kehidupannya sehari-hari. Dan tentunya, orang yang memilih agama yang telah ditentukan oleh Allah SWT sebagai pencipta alam semesta, niscaya ia akan bahagia. Sementara orang yang memilih selain agama tersebut, akibatnya akan fatal, baik di dunia ini maupun di alam akhirat kelak.
B. Islam
Secara lenguistik, Islam adalah pasrah terhadap sesuatu. Arti teminologisnya tidak jauh berbeda dengan arti lenguistiknya. Dan Al Quran menamakan agama yang telah ditentukan oleh Allah dengan Islam, karena pokok ajarannya adalah kepasrahan manusia kepada segala ketentuan dan undang-undang yang telah ditentukan oleh-Nya. Konsekuensinya, ia tidak akan menyembah selain Tuhan yang Esa.
C. Syi’ah
Secara lenguistik, Syi’ah adalah pengikut. Seiring dengan bergulirnya masa, secara terminologis Syi’ah ¬hanya dikhususkan untuk orang-orang yang meyakini bahwa hanya Rasulullahlah SAWW yang berhak menentukan penerus risalah Islam sepeninggalnya. Dan dalam semua hal, mereka hanya mengikuti ajaran Ahlul Bayt a.s.