Selasa, 26 Februari 2008

Adzan Syi'ah Berbeda dengan Adzan Sunnah

Saudara-saudara tidak lengkap membicarakan lafal adzan dan iqamah. Saudara-saudara 'lupa' menyampaikan lafal adzan dan iqamah sesungguhnya. Yang pasti di zaman Rasulullah SAWW berbunyi sebagai berikut:
Lafal Adzan
Allaahu akbar (Kalimat diatas, sama dalam kedua mazhab, diucapkan 4x)
Asyhadu an-laa ilaaha illa'llaahAsyhadu anna Muhammadar' RasuulullaahHayya 'ala ShalaahHayya ala'l falaah (Semua kalimat diatas, sama dalam kedua mazhab, diucapkan 2x)
Hayya 'ala khairi'l amaal (Kalimat diatas hanya dalam mazhab Syi'ah, diucapkan 2x)
Allaahu akbar, Allaahu akbarLaa ilaaha illa'llaah (Kalimat diatas, sama dalam kedua mazhab, diucapkan masing-masing 2x)
Ash-shalaatu khairun min an-naum (Kalimat yang diucapkan dalam shalat shubuh diatas hanya dalam mazhab Sunnah, diucapkan 2x)
Dalam al-iqamah, semua kalimat diatas diucapkan sekali kecuali Allaahu akbar diucapkan dua kali.
Apakah saudara-saudara sudah mempelajari hadits-hadits dan sejarah adzan ini?
Memang Syi'ah, sesudah membaca "Hayya 'alaa'l falaah" (Marilah kita mencapai kemenangan) membaca "Hayya 'alaa khairil 'amaal" (Marilah membuat amal shalih).
Apakah kalimat Hayya 'alaa khairil 'amaal itu buatan Syi'ah?
Kalimat ini dilafalkan dimasa Rasulullah SAWW. Bacalah tulisan ulama Sunni seperti Baihaqi dalam Sunan jilid I, hal, 524, 525; Sirah Halabiyah jilid II, hal. 105; Maqaati'l Ath-Thalibin, hal 297; Adz-Dzahabi dalam Mizaan al-I'tidaal jilid I, hal. 139; Lisaan'l-Mizaan jilid I, hal. 268 dan banyak lagi yang lainnya. Juga terdapat dalam hadits-hadits orang Syi'ah.
Umar bin Khattab meninggalkan kalimat ini untuk lebih 'memacu semangat' jihad karena kalimat ini dianggap akan melemahkan semangat jihad tersebut. Umar berkata, "Ada tiga hal yang dijalankan di zaman Rasulullah SAWW dan aku melarangnya dan aku akan menghukum mereka yang melaksanakannya; kawin mut'ah, haji mut'ah, dan Hayya 'ala khairi'l amaal."
Kaum Syi'ah tatkala mengucapkan kalimat syahadat sering menambahkan "Asyhadu anna 'Aliyyan waliiyullaah" Hal ini disebabkan pidato Rasulullah SAWW di Ghadir Khum, sesudah Haji Perpisahan, sekitar 80 hari sebelum beliau wafat. Bukan hadits lemah dikalangan Sunni, yaitu tatkala Rasulullah SAWW bersabda:
"Man kuntu maulaahu fa 'Aliyyun maulaahu. Allaahumma waali man walaahu wa 'aadi man 'aadaahu"(Barang siapa menganggap aku sebagai walinya, maka 'Ali juga adalah walinya. Allaahumma, ya Allah, cintailah siapa yang mencintainya dan musuhilah siapa yang memusuhinya).
Dan semua sahabat memberi selamat, termasuk Umar bin Khattab. Para sejarawan mencatat kata-kata yang diucapkan Umar:
"Bakhin, bakhin, laka, ya aba'l hasan, anta maulaaya, wa maulaa kullu mu'minin wa mu'minatin."(Selamat ayah Hasan, engkau adalah waliku dan wali kaum mu'minin dan mu'minat).
Dan ada pula dengan lafal "Thuuba laka" atau "hanii'an laka" yang punya arti serupa dan diriwayatkan oleh sekitar 110 sahabat.
Dan tatkala turun ayat:
"Innallaaha wa malaa'ikatahu yushalluuna 'ala'n-Nabii, yaa ayyuha'l ladziina aamanuu shalluu 'alaihi wa sallimu tasliiman", yang artinya "Sungguh, Allah dan para malaikat-Nya bershalawat atas Nabi, Hai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah atasnya, dan berilah salam kepadanya dengan sehormat-hormat salam!" (QS. Al-Ahzab: 56).
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah SAWW tentang cara bershalawat kepada Nabi, Rasulullah SAWW menjawab "Ucapkanlah 'Allahumma shalli 'alaa Muhammad wa 'aali Muhammad', (Ya Allah, shalawatilah Muhammad dan keluarga Muhammad)"
Karena itulah maka para ulama seperti Imam Syafi'i mengatakan tatkala dituduh rafidhah (yang berarti melakukan desersi dari kedua syaikh, Abu Bakar dan Umar atau yang lebih mengutamakan 'Ali daripada kedua syaikh tersebut), menjawab, "Bila mencintai Ahlu'l Bait aku dituduh rafidhah, orang dulu punya peribahasa, tunjukkan kepadaku seorang rafidhah yang kecil, akan aku tunjuk kepadamu seorang Syi'ah yang besar!. Kalau aku dituduh demikian maka saksikanlah oleh seluruh jin dan manusia bahwa aku memang seorang rafidhi! Sebab shalatku tidak sah bila aku tidak bershalawat kepada Ahlul'l Bait!"
Tapi orang Syi'ah mengetahui betul bahwa kalimat Asyhadu anna 'Aliyyan waliiyullaah bukan merupakan bagian integral dari adzan dan iqamah. Kalimat ini hanya merupakan kebolehan, optional, seperti kalimat Allahumma shalli 'alaa Muhammad wa 'aali Muhammad.
Kalimat Ash-shalaatu khairun min an-naum (Shalat lebih baik daripada tidur) adalah tambahan dari Umar bin Khattab. Sekali lagi, baca!

Sujud dalam sholat - menurut mazhab Syiah Imamiah

Barangkali manifestasi peribadatan, ketundukan, dan penghinaan diri makhluk kepada Penciptanya adalah sujud.
Dengan sujud, seorang Mukmin meneguhkan peribadatannya kepada Allah swt.
Dari sini diketahui bahwa Pencipta Yang Maha Agung menetapkan bagi hamba-Nya penghinaan diri dan ketaatan ini. Maka Dia melimpahkan luthf dan kebaikan-Nya kepada orang yang bersujud. Oleh karena itu, di dalam beberapa hadis diriwayatkan, “Keadaan paling dekat antara hamba kepada Allah adalah ketika sujud."

Di antara praktik-praktik ibadah, salat merupakan mikraj yang dengannya dibedakan antara orang Mukmin dan orang kafir, dan sujud merupakan salah satu rukunnya. Tidak ada manifestasi penghinaan diri kepada Allah yang lebih jelas daripada sujud di atas tanah, pasir, kerikil, dan batu. Sebab, penghinaan diri dengan cara itu lebih jelas dan lebih nyata daripada sujud di atas tikar, apalagi sujud di atas pakaian yang bagus, permadani yang empuk, emas, dan perak. Walaupun semua itu merupakan sujud, tetapi peribadatan hanya terwujud pada bagian pertama di atas, tidak terwujud pada bagian kedua.

Mazhab Syi'ah Imamiyah mengharuskan sujud di atas tanah baik di rumah maupun sedang dalam perjalanan. Tidak ada yang dapat menggantikan tanah kecuali segala yang tumbuh darinya seperti tikar (yang terbuat dari daun - seperti daun kurma atau bambu), dengan syarat tidak untuk dimakan dan tidak digunakan sebagai pakaian. Mereka tidak memandang sahih bersujud di atas selain dari itu berdasarkan sunah mutawatir dari Nabi saw, ahlulbaitnya, dan para sahabatnya. Akan tampak dalam pembahasan ini bahwa keharusan bersujud di atas tanah atau sesuatu yang tumbuh darinya merupakan sunah yang dipraktikkan di kalangan sahabat.
Sedangkan menggantinya dengan sesuatu yang lain hanya diada-adakan pada masa-masa terakhir ini. Untuk menjelaskan hal ini, berikut ini kami ketengahkan beberapa pembahasan sebagai pendahuluan.

1. Perbedaan pendapat para fukaha tentang syarat-syarat benda yang layak Digunakan Untuk Tumpuan Sujud.
Kaum Muslim telah sepakat tentang wajibnya bersujud dalam salat, dua kali pada setiap rakaat. Mereka juga tidak berselisih pendapat tentang kepada siapa sujud itu ditujukan. Yaitu, kepada Allah swt yang kepada-Nya bersujud semua yang ada di langit dan bumi baik dengan suka rela maupun secara terpaksa. (Sebagai isyarat terhadap firman Allah swt: Hanya kepada Allah bersujud segala apa yang ada di langil dan di bumi, baik dengan sukarela maupun kamu terpaksa, (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan pelang hari (QS ar-Ra.d [13]: 15).
Syiar setiap Muslim adalah firman Allah swt, Jangan bersujud kepada matahari dan jangan pula kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya. " (QS. Fushshilat [41]: 37)
Mereka hanya berselisih pendapat dalam menetapkan syarat- syarat bagi layaknya benda-benda yang menjadi tumpuan sujud, yakni tempat orang bersujud menempelkan dahinya.
Mazhab Syi.ah Imamiyah mensyaratkan tumpuan sujud itu berupa tanah atau benda-benda yang tumbuh darinya yang tidak biasa dimakan dan digunakan untuk pakaian-seperti tikar (yang terbuat dari daun kurma atau bambu) dan sebagainya. Sedangkan mazhab- mazhab lain menentangnya.
Berikut ini kami kutipkan untuk Anda pendapat-pendapat mereka.
Syekh ath-Thusi (Seorang ulama Syi.ah abad ke-5 H., penulis kitab al-Tashanifwa al-Mu'allafat yang lahir pada tatiun 460 H, murid Syekh a1-Mufid (336-413 H) dan Sayid asy- Syadrifal-Murtadha (355-436 H)), yang menjelaskan pendapat-pendapat para fukaha-mengatakan, “Tidak boleh bersujud kecuali pada tanah atau yang tumbuh darinya yang tidak biasa dimakan dan dijadikan pakaian tidak boleh pada kapas atau jerami, misalnya dan boleh memilih di antara benda-benda tersebut”
Fukaha yang menentang pendapatnya dalam hal itu. Mereka membolehkan bersujud di atas kapas, jerami, gandum, wol, dan sebagainya. Mereka mengatakan, ‘Tidak boleh bersujud di atas sesuatu yang biasa dipakai, seperti serban, ujung jubah, dan lengan baju”.

Seperti itu pula pendapat asy-Syafi’i. Pendapat mereka didasarkan pada riwayat dari ‘Ali as, Ibn ‘Umar, ‘Ubadah bin ash-Shamit, Malik, dan Ahmad bin Hanbal.
Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya mengatakan, “Apabila bersujud di atas benda yang biasa dipakai, seperti baju yang dikenakannya, hal itu sudah memadai”
Jika bersujud di atas sesuatu yang terpisah dari dirinya, seperti membentangkan tangan lalu bersujud di atasnya, hal itu pun sudah memadai tetapi makruh. Pendapat ini diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri.(Al-Khiltif, kitab ash-shalat, hal. 357-358, masalah no.112-113.)
Allamah al-Hilly--sambil menjelaskan pendapat para fukaha tentang benda untuk tumpuan sujud-mengatakan, “Tidak boleh bersujud di atas sesuatu selain tanah dan yang tumbuh darinya tidak boleh pada kulit dan wol, misalnya-menurut ijma para ulama kami. Sedangkan kebanyakan fukaha membolehkannya”.

Dalam hal itu, para ulama Syiah sejalan dengan para imam mereka yang merupakan sandingan dan pasangan Alkitab dalam hadis tsaqalain. Di sini kami merasa cukup dengan menyebutkan beberapa hadis yang diriwayatkan yang berkenaan dengan masalah tersebut:

Ash-Shaduq meriwayatkan hadis melalui sanadnya dari Hisyam bin al-Hakam bahwa ia berkata kepada Abu Abdillah as, “Beritahukanlah kepadaku benda-benda yang boleh dijadikan tumpuan sujud dan yang tidak boleh dijadikan untuk itu.” Abu Abdillah as menjawab, “Sujud itu tidak boleh dilakukan selain pada tanah atau sesuatu yang tumbuh darinya kecuali yang biasa dimakan atau dijadikan pakaian” la bertanya lagi, “Demi yang diriku menjadi tebusan Anda, apa sebab demikian?” Abu Abdillah as menjawab, “Karena sujud adalah merendahankan diri kepada Allah Azza wa Jalla. Tidak sepatutnya sujud dilakukan pada sesuatu yang biasa dimakan dan dijadikan pakaian karena pencinta dunia adalah budak dari apa yang dimakan dan dipakainya. Sedangkan orang yang bersujud adalah sedang beribadat kepada Allah Azza wa Jalla. Tidak sepantasnya ia meletakkan dahinya di atas sesuatu yang dsembah oleh para pencinta dunia yang tertipu oleh tipuannya”.

Tidaklah heran kalau para ulama Syi'ah mengharuskan sujud di atas tanah atau sesuatu yang tumbuh darinya yang tidak biasa dimakan dan digunakan untuk pakaian karena mengikuti para imam mereka. Sebab, hadis-hadis yang diriwayatkan di kalangan Ahlusunah telah menguatkan pandangan mereka. Akan tampak hal itu dalam hadjs-hadis dari mereka. Dari situ akan tampak jelas bahwa yang disunahkan adalah bersujud di atas tanah. Kemudian diberikan keringanan untuk bersujud di atas tikar (yang terbuat dari daun kurma atau bambu). Keringanan untuk bersujud di atas benda selain itu tidak diberikan, bahkan dilarang, sebagai- mana yang akan dijelaskan berikut ini.

Seorang ahli hadis, an-Nuri, meriwayatkan hadis dalam al-Mustadrak dari para pemuka Islam dari Ja 'far bin Muhammad dari bapaknya, dari moyangnya dari ‘Ali as bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tanah itu baik bagimu. Darinya kalian bertayamum, di atasnya kamu salat dalam kehidupan di dunia ini, dan ia menjadi tempat tinggalmu ketika mati. Yang demikian itu adalah kenikmatan dari Allah. Bagi-Nya segala pujian. Benda yang paling baik untuk dijadikan tumpuan sujud orang yang salat adalah tanah yang bersih."

Juga diriwayatkan dari Ja'far bin Muhammad as bahwa ia berkata, “Hendaklah orang yang mengerjakan salat menempelkan dahinya pada tanah ketika bersujud dan melumuri wajahnya dengan debu karena hal itu termasuk penghinaan diri kepada Allah." (Mustadrak al-Wasa’il, juz 4, termasuk bab-bab Mayasjudu 'alayh. Barangkali hadis ini keluar pada awal-awal hijrah. Ketika itu kaum Muslim hanya bersujud di atas tanah. Tidak ada pertentangan antara hadis tersebut dan hadis lain yang menyebutkan adanya keringanan bersujud pada apa yang tumbuh di atas tanah.
Asy-Sya'rani berkata, “Yang dimaksud dengan ketundukan adalah dengan kepala termasuk wajah yang mnerupakan anggota tubuh paling mulia untuk bersentuhan dengan tanah, baik dengan dahi maupun hidung. Bahkan menurut mereka, dengan hidung adalah lebih utama karena hidung sering dijadikan alat untuk menyombongkan diri. Apabila ia menempelkan hidungnya pada tanah, seakan-akan ia keluar dari kesombongan yang terdapat pada dirinya di hadapan Allah SWT. Karena, Hadhirat Ilahi haram dimasuki oleh orang yang pada dirinya terdapat sifat sombong walaupun sebesar atom. Hadhrat Ilahi itu adalah surga yang agung. Nabi saw bersabda, 'Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat sifat sombong walaupun sebesar atom.” (AI-Yawtiqit wa al-Jawlihir fi 'Aqa.id al-Akabirkarya 'Abdul Wahhab bin Ahmad bin 'Ali al-Anshari al-Mishri yang lebih dikenal dengan panggilan asy-Sya'rani (tennasuk ulama abad ke-10). 1/164, cet. pertama).

Imam al-Maghribi al-Maliki ar-Rudani mengutip hadis marfu , dari Ibn ' Abbas: "Barangsiapa yang tidak melekatkan hidungnya bersama dahinya pada tanah ketika bersujud, tidak sah salat- nya." (Muhammad bin Muhammad bin Sulaiman al-Maghribi (wafat tahun 1049), Jam' al-Fawa.id minJami' al-Ushiil dan Majma' az-Zawa.id, 1/214. no.1515.)

2. Perbedaan antara ”sujud kepadanya" dan "sujud di atasnya". Banyak orang mengatakan bahwa sujud di atas tanah atau sesuatu yang tumbuh darinya adalah bid'ah. Mereka juga mengatakan bahwa batu tempat sujud adalah berhala. Mereka tidak bisa membedakan antara “sujud kepadaNya" (masjud lahu) dan "sujud di atasnya" (masjud 'alayh). Mereka mengira bahwa batu yang diletakkan di hadapan orang yang sedang salat adalah berhala yang disembah orang itu dengan melekatkan dahi di atasnya. Akan tetapi tidaklah heran kalau Syi'ah tidak memperdulikan paham yang menyimpang itu yang tidak bisa membedakan di antara kedua hal tersebut. Mereka mengartikan masjud 'alayh dengan masjud lahu. Perbuatan seorang monoteis dianalogikan kepada perbuatan seorang politeis, karena keserupaan hal-hal yang tampak secara lahiriah. Mereka berhujah dengan rupa dan bentuk yang tampak. Padahal yang menjadi ukuran adalah hal-hal yang batin dan tersembunyi. Berhala bagi kaum paganis (penyembah berhala) adalah sesembahan dan yang disujudi. Mereka meletakkannya di hadapan mereka, serta rukuk dan bersujud kepadanya.

Akan tetapi seorang monoteis ingin mengerjakan salat dalam menampakkan peribadatan hingga akhir urutannya adalah untuk menundukkan diri kepada Allah dan bersujud kepada-Nya. la meletakkan dahi dan wajahnya di atas tanah, batu, kerikil, dan pasir: Hal itu merupakan manifestasi persamaan dirinya dengan benda-benda tersebut sambil berkata, " Aku dari tanah, dan Dia adalah Tuhan segala tuhan."

Orang yang bersujud di atas tanah (turbah) tidak beribadat kepada tanah itu. Melainkan, ia menghinakan diri kepada Tuhan-nya dengan bersujud di atas tanah itu. Orang yang memandang sebaliknya adalah orang yang dungu yang akan meragukan semua orang yang salat dan menganggap mereka sebagai musyrik. Maka barangsiapa yang bersujud di atas permadani, kain, dan sebagainya juga harus dipandang sebagai menyembah benda-benda tersebut Sungguh mengherankan.

3. Sunah tentang sujud pada zaman Rasulullah saw dan sesudahnya.
Nabi saw dan para sahabatnya biasa bersujud di atas tanah selama jangka waktu yang tidak sebentar. Mereka menanggung derita akibat panas yang luar biasa, tanah berdebu, dan lumpur selama bertahun-tahun. Pada waktu itu, tidak ada seorang pun yang bersujud di atas pakaian dan lipatan serban, bahkan tidak pula di atas tikar (yang terbuat dari daun kurma atau bambu) Yang dapat mereka lakukan untuk menghilangkan panas itu dari dahi hanyalah dengan mendinginkan kerikil dengan telapak tangan mereka. Kemudian mereka bersujud di atasnya. Sebagian mereka telah mengadu kepada Rasulullah saw karena panas yang luar biasa. Tetapi beliau tidak memberikan jawaban. Sebab, beliau tidak dapat mengubah perintah Allah menurut pendapatnya sendiri.
Sehingga kemudian diberikan keringanan untuk bersujud di atas tikar kecil dan tikar yang terbuat dari daun kurma. Maka dalam hal itu ada keleluasaan bagi kaum Muslim, namun dalam lingkup terbatas: Berdasarkan uraian di atas, pada masa itu berlaku dua fase pada kaum Muslim, sebagai berikut:

1. Kaum Muslim diwajibkan bersujud di atas tanah dengan berbagai jenisnya berupa debu, pasir, kerikil, dan lumpur. Dalam hal itu tidak ada keringanan untuk bersujud di atas benda lain.
2. Kaum Muslim diberi keringanan untuk bersujud diatas (benda yang terbuat dari) sesuatu yang tumbuh di atas tanah, seperti tikar bambu, dan tikar daun kurma. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan keringanan kepada mereka dan menghilangkan kesulitan mereka. Tidak ada fase lain yang memberikan keleluasaan kepada kaum Muslim lebih dari itu, sebagaimana yang diklaim sebagian orang. Berikut ini penjelasannya:

Fase Pertama: Sujud di Atas Tanah

Dua kelompok meriwayatkan hadis dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda, ”Bagiku tanah dijadikan tempat untuk bersujud dan suci." (Shahih al-Bukhari. 1/91. kitab at-Tayammum. hadis no- 2 dan Sunan al- Baihaqi, 2/433, bab Aynamti adTakatka ash-shaltit fa shalli fa huwa masjid. Hadis ini diriwayatkan pula oleh para penulis kitab-kitab Shahih dan Sunan yang lain.)
Yang dipahami dari hadis di atas, bahwa :
Setiap bagian dari tanah adalah tempat sujud dan suci untuk dijadikan tempat bersujud dan untuk bertayamum. Berdasarkan hal tersebut, tanah dimaksudkan untuk dua hal, yaitu untuk tempat sujud dan untuk bertayamum.

Yang menafsirkan riwayat tersebut, bahwa ibadah dan sujud kepada Allah swt itu tidak dikhususkan pada suatu tempat tertentu, melainkan seluruh tanah (bumi) adalah tempat bersujud (masjid) bagi kaum Muslim, berbeda dengan umat lain yang mengkhususkan peribadatan hanya di gereja dan sinagoge, tidak menyimpang dari apa yang telah kami sebutkan. Karena, jika tanah itu secara mutlak merupakan tempat sujud bagi orang yang me- ngerjakan salat maka lazimnya seluruh tanah itu layak untuk dijadikan tempat ibadah.
Tidak disebutkan makna keharusan dalam ungkapan kami di atas yang menunjukkan penyebutan kata “suci" (thuhuran) setelah kata “tempat sujud" (masjadan) dan menjadikan keduanya sebagai objek ( maful) dari kata kerja ju'ilat ( dijadikan ). Kesimpulannya, penjelasan sifat tanah, yaitu bahwa tanah itu adalah tempat untuk bersujud dan bahwa tanah itu suci. Inilah dipahami al-Jashshash. la berkata, "Yang menjadikan tanah itu tempat bersujud adalah juga yang menjadikan tanah itu suci.

Masih ada beberapa orang penafsir hadis selain ia yang berpendapat sama dengannya.
Mendinginkan Kerikil untuk Tempat Sujud :

1. Dari Jabir bin. Abdu11ah a1-Anshori: “Saya pernah salat Zuhur bersama Nabi saw. Lalu saya mengambil segenggam kerikil. Saya menggenggamnya, dan membolak-balikkannya pada telapak tangan yang lain hingga kerikil itu menjadi dingin. Kemudian saya meletakkannya pada dahi dan bersujud di atasnya. Hal itu saya lakukan karena hari sangat panas.”

Al-Baihaqi memberi komentar terhadap hadis itu dengan katanya: Syekh itu berkata, "Kalau boleh bersujud pada pakaian yang dikenakan, tentu hal itu lebih mudah dilakukan daripada mendinginkan kerikil dengan telapak tangan, lalu meletakkan- nya untuk tempat sujud."
Kami mengatakan: Kalau bersujud di atas pakaian secara mutlak, baik yang dikenakan maupun yang tidak dikenakan itu dibolehkan, tentu hal itu lebih mudah dilakukan daripada mendinginkan kerikil. Selain itu, lebih mudah menggunakan sapu tangan dan sejenisnya untuk tempat bersujud.

2. Anas meriwayatkan: Pernah kami bersama Rasulullah saw pada hari yang sangat panas. Lalu salah seorang di antara kami mengambil segenggam kerikil. la mendinginkannya dan meletak- kannya untuk tempat sujud.

3. Diriwayatkan dari Khabab bin al-Arat: Kepada Rasulullah saw kami mengadukan perihal panasnya dahi kami (ketika bersujud di atas tanah) .Tetapi beliau tidak menanggapi pengadu- an kami. Tentang makna hadis ini, Ibn al-Atsir berkata, "Ketika itu mereka mengadukan kepada Nabi saw derita yang mereka rasakan. Tetapi beliau tidak memperkenankan mereka untuk bersujud di atas ujung baju mereka."

Hadis-hadis tersebut menerangkan bahwa yang ditetapkan di dalam salat adalah berlakunya sujud di atas tanah saja. Sehingga Rasulullah saw tidak memperkenankan kaum Muslim untuk bersujud di atas pakaian yang dikenakan ataupun yang tidak dikenakan. Sekalipun Rasulullah saw bersifat pemurah dan mengasihi orang-orang Mukmin, beliau mewajibkan mereka agar melekatkan dahi mereka pada tanah walaupun mereka merasa sakit karena tanah itu sangat panas. Yang menerangkan keharusan kaum Muslim bersujud di atas tanah dan Nabi saw terus-menerus melekatkan dahinya pada tanah itu, tidak pada pakaian yang dikenakan, seperti lipatan serban, atau yang tidak dikenakan, seperti sapu tangan dan sajadah, adalah banyak hadis yang meriwayatkan tentang perintah melekatkan tanah ( tatrib)-pada dahi.

Perintah Penaburan Debu (Tatrib ) :

1. Diriwayatkan dari Khalid al-Jahani: Nabi saw melihat Shuhaib bersujud sambil seakan-akan membersihkan debu (di atas tempat sujudnya). Maka beliau menegurnya, "Lekatkanlah debu pada wajahmu, hai Shuhaib!"

2. Tampaknya Shuhaib menghindari melekatkan dahinya pada tanah dengan bersujud di atas pakaian yang dikenakan dan yang tidak dikenakan, tidak semata-mata bersujud di atas tikar (yang terbuat dari daun kurma atau bambu) dan batu yang bersih. Bagaimanapun, hadis itu menyatakan keutamaan bersujud di atas tanah daripada bersujud di atas kerikil ketika hal itu dibolehkan.

3. Ummu Salamah ra meriwayatkan: Rasulul1ah saw melihat salah seorang budak kami yang bemama Aflah meniup tempat sujud ketika akan bersujud. Maka beliau berkata, "Hai Aflah, biar kanlah tempat itu berdebu."

4. Dalam riwayat lain disebutkan, "Hai Rabah, lekatkanlah wajah- mu pada tanah."
5. Abu Shalih meriwayatkan: Saya menemui Ummu Salamah. Lalu masuk ke rumahnya seorang anak saudaranya. la salat dua rakaat di situ. Ketika bersujud, ia meniup debu (di atas tempat sujudnya) .Maka Ummu Salamah menegurnya, "Hai anak saudaraku, janganlah kamu meniup debu dari tempat sujudmu. Saya pernah mendengar Rasulullah saw berkata kepada seorang budaknya yang bemama Yasar-yang meniup debu dari tempat sujudnya, "Lekatkan1ah wajahmu pada tanah karena AIlah."

Perintah Mengangkat Serban dari Dahi
1. Diriwayatkan bahwa apabila bersujud, Nabi saw mengangkat serbannya dari dahinya.20
2. Diriwayatkan dari 'Ali Amirul Mukminin, bahwa ia.berkata, " Apabila seseorang dari kamu melaksanakan salat, hendaklah ia mengangkat serban dari dahinya." Yakni, tidak bersujud di atas lipatan serban.
3. Shalih bin Hayawan as-Siba’i meriwayatkan bahwa Rasulullah saw melihat di sampingnya seseorang sedang bersujud, sementara serban melekat pada dahinya. Maka Rasulullah saw mengangkat serban itu dari dahinya.
4. Diriwayatkan dari 'Iyadh bin' Abdullah al-Qurasyi: Rasulullah saw melihat seseorang sedang bersujud di atas lipatan serbannya. Maka beliau memberi isyarat dengan tangannya agar orang itu mengangkat serbannya sambil menunjuk pada dahinya.
Riwayat-riwayat tersebut mengungkapkan bahwa pada masa itu kaum Muslim tidak memiliki kewajiban-dalam bersujud kecuali bersujud di atas tanah. Ketika itu tidak ada keringanan apa pun selain mendinginkan kerikil. Kalau pada saat itu ada ke- ringanan, tentu mereka melakukannya. Tetapi justru Rasulullah saw memerintahkan agar wajah dilekatkan pada tanah dan serban diangkat dari dahi.
Fase Kedua, Keringanan Bersujud di atas Tikar
Riwayat-riwayat tersebut terdapat dalam kitab-kitab Shahih, Musnad, dan kitab-kitab hadis lainnya. Semuanya menjelaskan kebiasaan Rasulullah saw dan para sahabatnya bersujud di atas tanah dan sebagainya. Mereka juga tidak pernah menggantinya dengan benda lain walaupun merasa berat dan harus menahan panas. Akan tetapi, terdapat juga dalil-dalil yang menjelaskan ke- ringanan dari Nabi saw-melalui pewahyuan dari Allah swt untuk bersujud di atas setiap benda yang tumbuh di atas tanah. Dengan cara itu mereka diberi kemudahan dalam bersujud, dan menghilangkan kesusahan dari mereka karena panas (ketika cuaca sangat panas) dan dingin (ketika cuaca sangat dingin), danjika tanah itu basah. Berikut ini saya kemukakan dalil-dalil tersebut:
1. Diriwayatkan dari Anas bin Malik: Rasulullah saw pernah salat di atas tikar kecil (khumrah).
2. Diriwayatkan dari Ibn ' Abbas: "Rasulullah saw pernah salat di atas tikar kecil." Dalam redaksi yang lain disebutkan, "Nabi saw pernah sa1at di atas tikar kecil.
3. Diriwayatkan dari ' Aisyah: Nabi saw pemah salat di atas tikar kecil.
4. Diriwayatkan dari Ummu Salamah: Rasulullah saw pemah salat di atas tikar kecil.
5. Diriwayatkan dari Maimunah: Rasulullah saw pernah salat di atas tikar kecil. Lalu beliau bersujud di atasnya.
6. Diriwayatkan dari Ummu Sulaim: Rasulullah saw pemah salat di atas tikar kecil.
7. Diriwayatkan dari .Abdullah bin .Umar: Rasulu1lah saw pemah salat di atas tikar kecil.

Bersujud di atas Pakaian karena Uzur Anda telah mengetahui dua fase yang telah dibahas sebelumnya. Kalau terdapat fase ketiga, tentu hal itu adalah fase dibolehkannya bersujud di atas selain tanah dan yang tumbuh di atasnya tanpa ada uzur atau keadaan darurat. Tampaknya, keringanan ini berlaku pada masa-masa terakhir setelah berlakunya dua fase di atas. Padahal Anda tahu bahwa Nabi saw tidak menanggapi pengaduan para sahabat yang mengadukan penderitaan mereka akibat panas yang luar biasa. Beliau dan para sahabatnya terus bersujud di atas tanah dengan menahan panas dan sakit. Akan tetapi, Allah SWT memberikan keringanan untuk menghilangkan kesulitan dalam bersujud dengan membolehkan bersujud di atas pakaian bila ada uzur dan keadaan darurat. Berikut ini dalil-dalilnya.
1. Diriwayatkan dari Anas bin Malik: Ketika kami salat bersama Rasulunah saw, salah seorang di antara karni tidak dapat melekatkan: dahinya pada tanah. Maka ia menarik bajunya, kemu- diari bersujud di atasnya.
2. Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan: Kami pernah salat bersama Nabi saw. Kemudian salah seorang dari karni meletakkan “\1jung bajunya (di hadapannya) karena sangat panas. Ketika ia tidak mampu melekatkan dahinya pada tanah, ia menarik bajunya itu.
3. Dalam hadis lain disebutkan: Ketika karni salat bersama Nabi saw, salah seorang dari kami meletakkan ujung bajunya pada tempat sujud karena sangat panas.

Riwayat-riwayat yang dikutip para penulis kitab-kitab Shahih dan Musnad ini mengungkapkan kebenaran beberapa hadis yang diriwayatkan dalam masalah ini, tentang bolehnya bersujud di atas pakaian bukan dalam keadaan darurat. Padahal, riwayat dari Anas menyatakan bahwa mereka melakukan hal itu karena darurat. Maka hal itu menjadi alasan untuk melakukan pemutlakan ( dalam bersujud di atas pakaian ) .Berikut ini beberapa riwayat berkenaan dengan hal itu:
1. Abdullah bin Mahraz meriwayatkan dari Abu Hurairah: Rasulullah saw salat di atas lipatan serbannya.
Riwayat ini, walaupun bertentangan dengan hadis tentang larangan Rasulullah saw bersujud di atasnya, mencakup adanya uzur dan darurat. Hal itu telah dijelaskan oleh Syekh al-Baihaqi dalam Sunan-nya. Syekh itu berkata, " Adapun riwayat tentang larangan Nabi saw bersujud di atas lipatan serban tidak ter- bukti sedikit pun. Riwayat yang sahih berkenaan dengan hal itu ada1ah yang diriwayatkan al-Hasan al-Bashri dari para sahabat Nabi saw."
Telah diriwayatkan dari Ibn Rasyid: Saya melihat Makhul bersujud di atas serbannya. Saya bertanya, "Mengapa engkau bersujud di atas serban?" Ia menjawab, "Saya menghindari dingin yang membuat ngilu gigi-gigi saya."
2. Dari Anas diriwayatkan: Kami salat bersama Nabi saw. Kemudian salah seorang dari kami bersujud di atas bajunya.
Dalam riwayat ini tersirat suatu uzur dengan alasan yang telah karni riwayatkan. Dari al-Bukhari diriwayatkan: Kami salat bersama Nabi saw ketika hari sangat panas. Karena tidak dapat melekatkan wajahnya pada tanah, salah seorang dari karni membentangkan pakaiannya, lalu bersujud di atasnya.
Hadis itu dikuatkan dengan hadis yang diriwayatkan an- Nasa 'i: Apabila kami salat di belakang Nabi saw pada tengah hari, kami bersujud di atas baju kami untuk menghindari panas.
Terdapat beberapa riwayat pendek yang menyebutkan bahwa Nabi saw salat di atas tikar kulit. Sedangkan, apakah beliau bersujud di atas tikar kulit itu, tidak disebutkan.
3. Diriwayatkan dari al-Mughirah bin Syu'bah: Rasulullah saw sa1at di atas tikar daun kurma dan kulit yang telah disamak.
Riwayat ini-merupakan hadis lemah karena dalam sanadnya terdapat nama Yunus bin al-Harits-tidak meyebutkan sujud. Di sini tidak dibedakan antara salat di atas kulit dan bersujud di atasnya. Barangkali saja beliau saw melekatkan dahinya pada tanah atau apa saja yang tumbuh di atasnya. Dengan asumsi adanya pembedaan itu pun, hadis tersebut tidak kuat. Selain itu, di dalamnya terkandung pengertJan yang telah kami bahas pada dua hadis sebelumnya.

Kesimpulan Pembahasan Orang yang memperhatikan riwayat-riwayat itu akan menemukan. tanpa keraguan. bahwa masa1ah sujud da1am salat melewati dua atau tiga fase. Pada fase pertama. kewajiban bersujud di atas tanah dan tidak ada keringanan bagi kaum Muslim untuk ber- sujud di atas selainnya. Pada fase kedua. terdapat keringanan untuk bersujud di atas sesuatu yang tunbuh di atas tanah. Di luar dua fase ini. tidak ada fase lain kecuali bolehnya bersujud di atas baju karena ada uzur atau da1am keadaan darurat. Yang tampak dari beberapa riwayat tentang bolehnya bersujud di atas kulit dan sebagainya secara mutlak tersirat pengertian darurat atau tidak ada penjelasan tentang bersujud di atasnya., Melainkan yang ditunjukkan di situ hanya1ah salat di atasnya.
Dari sini tampak dengan jelas bahwa apa yang dianut kaum Syi'ah adaIah yang dibawa sunah Nabi. Mereka tidak menyimpang darinya sedikit pun. Barangka1i para fukaha lebih mengetahui ha1 itu dari orang lain. Sebab. mereka ada1ah orang-orang yang mendapat kepercayaan mengemban risalah dan dalil-dalil syariat. Kami mengajak mereka untuk memberikan sedikit saja perhatian untuk mengikuti kebenaran dan meningga1kan bid 'ah.

Rahasia da1am Membawa Tanah yang Suci Masih ada satu pertanyaan yang dikemukakan banyak saudara kita Ahlusunah tentang sebab kaum Syi.ah mengambil tanah yang suci dalam perjalanan (safar) dan ketika menetap di tempat, serta bersujud di atasnya, tidak di atas yang lain. Barangkali orang-orang awam-seperti telah kami sebutkan-membayangkan bahwa kaum Syi.ah bersujud kepada tanah itu, bukan bersujud di atasnya. Mereka menyembah batu dan tanah. Hal itu karena orang-orang yang patut dikasihani itu tidak bisa membedakan antara bersujud di atas tanah dan bersujud kepada tanah.
Apa pun masalahnya, jawaban atas pertanyaan ini sangat jelas. Sebab, menurut Syi.ah, dipandang baik mengambil tanah yang suci dan baik karena keyakinan akan kesuciannya, dari tanah mana dan dari belahan dunia yang mana tanah itu diambil, semua itu sama.
Keharusan ini sama seperti keharusan orang yang salat untuk menyucikan tubuh, pakaian, dan tempat salatnya. Rahasia keharusan membawa tanah (turbah) adalah karena keyakinan akan kesucian setiap tanah yang didiaminya. la mengambilnya untuk digunakan sebagai tempat sujud, yang mungkin saja tidak tersedia di suatu tempat yang didatangi seorang Muslim dalam perjalanannya. Apalagi di tempat-tempat yang didatangi berbagai kelompok manusia, baik Muslim maupun bukan Muslim, baik yang berpegang pada prinsip kesucian maupun tidak. Dalam hal itu seorang Muslim dihadapkan pada ujian besar ketika hendak mengerjakan salat. Ketika itu ia tidak menemukan tempat untuk mengambil tanah suci bagi dirinya yang diyakini kesuciannya. Karenanya ia bersujud di atas turbah ketika salat sebagai sikap hati-hati agar tidak bersujud di atas kotoran atau najis yang tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah, tidak diperkenankan dalam sunah, dan tidak dapat diterima akal sehat. terutama setelah ada penegasan jelas tentang kesucian anggota badan orang yang salat dan pakaian, serta ada larangan salat di tempat-tempat seperti tempat sampah. tempat pemotongan hewan, tengah jalan, toilet, dan tempat menderum unta. Bahkan diperintahkan untuk mem- bersihkan masjid dan memberinya wewangian.
lni merupakan kaidah yang berlaku di kalangan ulama salaf yang saleh. Tetapi sejarah lupa menukilnya. Telah diriwayatkan bahwa seorang ahli fiqih dari kalangan tabi’in. Masniq al-Ajda. (wafat tahun 62 H) dalam setiap perjalananya selalu membawa batu bata untuk bersujud di atasnya. Hadis itu pun diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dalam kitabnya al-Mushannf; bab “Siapa yang membawa sesuatu tempat bersujud di atas kapal laut". la me- riwayatkan hadis itu melalui dua sanad, bahwa Masruq apabila bepergian dengan kapal laut selalu membawa batu bata untuk bersujud di atasnya.
Sarnpai di sini, jelaslah bahwa orang Syi'ah mewajibkan dirinya membawa tanah tempat sujud semata-mata untuk memudahkan seseorang da1arn urusan salat, baik ketika ia sedang da1arn perjalanan maupun ketika menetap, karena khawatir tidak menemukan tanah yang suci atau tikar (dari tumbuh-tumbuhan) sehingga ia tidak mendapatkan kesulitan. Ini pun sama seperti kaum Muslim menyimpan tanah yang suci untuk bertayamum.
Rahasia mengapa orang Syi'ah melazimkan dirinya untuk menyukai bersujud di atas tanah dari kuburan al-Husain ada1ah untuk tujuan-tujuan mulia dan maksud-maksud yang agung. Ha1 itu akan mengingatkan orang yang salat di atas tanah tersebut terhadap pengorbanan Imam a1-Husain khususnya, serta ahlulbait dan para sahabat pilihannya da1am membela akidah dan prinsip- prinsip agama, serta menumpas kela1iman dan kerusakan.
Sujud merupakan rukun salat yang paling agung. Dalam sebuah hadis disebutkan: “Keadaan hamba yang pa1ing dekat kepada Tuhannya adalah ketika bersujud." Maka pantaslah untuk melekatkan dahi pada tanah yang disucikan oleh orang-orang yang menjadikan tubuh mereka sebagai kurban bagi kebenaran dan ruh-ruh mereka terangkat ke haribaan Allah (al-Mata' al-A 1al untuk tunduk, khusyuk, merendahkan diri. Ruh-ruh mereka meremehkan keduniaan pa1su dan perhiasannya yang fana. Barangkali inilah yang dimaksud bahwa bersujud di atas tanah dapat merobek tujuh tabir, sebagaimana yang disebutkan di da1am hadis. Da1am sujud terdapat sebuah rahasia kenaikan dan mikraj dari tanah kepada Tuhan semesta a1am.
Allamah al ‘Amini berkata, “Kami mengambil. segenggam tanah Karba1a untuk bersujud di atasnya, sebagaimana ahli .fiqih salaf, Masruq bin a1-Ajda', sela1u membawa batu bata yang terbuat dari tanah Madinah al-Munawwarah untuk bersujud di atasnya. Orang itu ada1ah murid para khalifah rasyidun, ahli fiqih Madinah, yang mengajarkan sunah, dan menghindari bid'ah. Dalam hal itu tidak ada dendam dan kelaliman, sikap yang bertentangan dengan seruan Al-Qur'an, penyimpangan dari sunnatullah dan sunah Rasul-Nya saw, atau keluar dari hukum akal.
Menjadikan tanah Karbala sebagai tempat sujud bagi kaum Syi'ah bukan fardu yang tak bisa ditawar-tawar, bukan kewajiban syariat dan agama, bukan keharusan mazhab. Sejak semula, siapa pun dari mereka tidak membedakan antara tanah tersebut dengan tanah dari bumi yang lain dalam hal boleh sujud di atasnya. Ini berbeda dengan yang selama ini diduga oleh orang-orang yang tidak mengenal mereka dan pandangan-pandangan mereka. Bagi mereka, hal itu hanyalah merupakan pandangan baik ( istihsan) menurut akal, lain tidak. Itu hanya pilihan terhadap sesuatu yang lebih baik menurut akal dan logika untuk dijadikan tempat ber- sujud, sebagaimana yang telah Anda ketahui. Banyak penganut mazhab tersebut yang selalu membawa tanah selain tanah Karbala yang layak untuk dijadikan tempat bersujud, seperti tikar daun kurma yang suci dan bersih serta diyakini kesuciannya, atau benda- benda yang semisalnya. Mereka bersujud di atas benda tersebut dalam salat mereka.
Ini merupakan pembahasan secara garis besar berkenaan dengan masalah fiqih ini. Perinciannya diserahkan kepada ahlinya. Hal itu telah dibahas oleh para ulama dan pemuka agama kontemporer. Berikut ini di antaranya.
1. Syekh Muhammad Husain Kasyif Ghitha' (1295-1373 H) dalam kitabnya al-Ardh wa at- Turoah al-Husayniyyah.
2. Syekh Abdul Husain al-Amini penulis kitab al-GhadiT (1320- 1390 H). Ia telah menulis sebuah risalah tentang masalah ini yang diterbitkan dalam lampiran kitabnya Siratuna wa Sunnatuna.
3. As-Suj.d ‘ala al-Ardh karya Allamah Syekh ‘Ali al-Ahmadi semoga Allah melanggengkan kemuliaannya.
Apa yang telah kami kemukakan dalam masalah ini adalah kutipan dari pengetahuan mereka. Semoga Allah merahmati para u1ama kita terdahulu dan memelihara para u1ama kita yang masih ada.

Bukan Masalah Pertama dalam Islam

Telah disepakati bahwa bersujud di atas tanah, tikar dari daun kurma ( al-hashir) , tikar dari bambu ( al-bawtin') , dan sebagainya merupakan sunah. Sedangkan bersujud di atas permadani, sajadah, dan sebagainya merupakan bid 'ah. Hal itu merupakan pengetahuan (sulthan) yang diturunkan Allah swr. Akan tetapi, sayang sekali, sunah telah menjadi bid'ah dan bid'ah telah dijadikan sunah. Kalau seseorang mengamalkan sunah di masjid-masjid dan sujud di atas tanah dan batu, perbuatannya dikatakan bid'ah, dan orang itu disebut ahli bid'ah. Namun, ini bukan satu-satunya )alah. Kita telah melihat berbagai pandangan dalam mazhab yangempat. Kami sebutkan dua masalah di antaranya.
1. Syekh Muhammad bin' Abdurrahman ad-Dimasyqi berkata: sunah dalam masalah kuburan adalah meratakannya, ini merupakan hal utama menurut pendapat yang dipilih dari mazhab Syafi'i. Abu Hanifah dan Malik berkata, "Meninggikan kuburan itu lebih utama, karena meratakannya merupakan syiar kaum Syi'ah.
2. Imam ar-Razi berkata: al-Baihaqi meriwayatkan hadis dari Abu f-Iurairah: Rasulullah saw menjaharkan (mengeraskan bacaan) bismillahirrahmanirrahim dalam salatnya. ' Ali ra juga mengeeraskan bacaan basmalah dalam salatnya. Hadis itu.mutawatir. Ali bin Abi Thalib berkata, "Wahai Zat Yang sebutan-Nya merupakan kemuliaan bagi para pezikir, apakah pantas orang berakal berusaha menyembunyikannya?"
Kaum Syi'ah mengatakan bahwa yang merupakan sunah ada- mengeraskan bacaan basmalah baik dalam salatjahar (seperti subuh, magrib, dan isya) maupun salat Sirr (seperti zuhur dan asar) .
Mayoritas ulama berpandangan sebaliknya. Sehingga mereka matakan, "' Ali berlebih-lebihan dalam mengeraskan bacaan nalah." Tetapi, ketika pemerintahan beralih ke tangan Bani Umayyah, mereka berlebih-lebihan da1am melarang bacaan basmalah dikeraskan sebagai upaya untuk menghilangkan jejak-jejak ‘Ali ra.***

I dinukil Allamah al-Amini dalam al-GhadiT, 10/209. 44 Ar-Razi, Maflitihul Gaibi, I, hal. 205-206.